Puisi yang Memabukkan
Oleh: Lan Fang
Bahwa membaca puisi Tiongkok klasik adalah opium. Membacanya adalah menyedotnya dalam-dalam sampai pada suatu tahap tertentu tidak mampu lagi membayangkan apa pun, kecuali bukit, sungai, pohon yangliu, perahu, deru angin, dan suara aneh orang-orang yang harus berpisah mesti tidak menginginkannya. Ini yang ditulis Sapardi Djoko Damono sebagai ulasan penutup Purnama di Bukit Langit, antalogi puisi Tiongkok Klasik.
Pendapat itu tidak berlebihan karena sepanjang membaca buku yang memuat himpunan puisi sebanyak 560 buah dari berbagai macam era dinasti Tiongkok itu memang sarat dengan keindahan. Bukan sekadar mendapatkan tamasya kata-kata, tetapi juga terdapat banyak catatan kaki yang menjelaskan arti syair-syairnya. Buku antalogi ini membawa pembacanya untuk berkelana memahami filosofi Tiongkok kuno.
Hal ini tidak aneh. Karena Tiongkok memang dikenal sebagai negeri puisi yang mencapai pematangan pada masa Dinasti Tang (618-907). Bahkan, bisa dikatakan, puisi yang dihasilkan bangsa Tiongkok diperkirakan jumlahnya lebih banyak daripada gabungan seluruh puisi yang ditulis bangsa-bangsa lain di dunia. Karena kedudukan puisi dalam perkembangan Tiongkok sebagai negara sangat penting. Bukan sekadar menjadi bahasa ungkap, simbol-simbol, pepatah, atau syair lagu, tetapi kebanyakan para pejabat, petinggi negara, dan raja menggubah puisi. Bahkan puisi menjadi pelajaran wajib yang dijadikan barometer ujian negara dalam merekrut calon birokrat. Itu sebabnya, sebenarnya, buku antalogi puisi Tiongkok Klasik ini bukan sekadar menyajikan keindahan alam sebagai metafora dalam susunan kata-kata, tetapi juga menceritakan tentang perjalanan politik suatu bangsa, peperangan, kebudayaan, juga kerinduan kepada kampung halaman, sebagai cermin kehidupan masyarakat yang terjadi pada masa dinasti tertentu.
Puisi juga merupakan catatan sebuah waktu dan generasi. Maka, bila membandingkan buku antalogi puisi ini dengan buku antalogi puisi penyair Indonesia keturunan Tiongkok, akan ditemukan jejak yang tergerus zaman yang terus berderap dan kebudayaan di mana penyair itu berada.
Contohnya ketika penyair mengungkapkan kematian, terlihat banyak perbedaan cara ungkap yang disesuaikan dengan kondisi setempat.
Mengubur Bunga , Cao Xueqin (1615-1763: Dinasti Qing)
Bilur yangliu daun olma subur merimbun sendirian,
Tak pedulikan persik terbang prem yang bertebaran,
Tahun depan persik-prem sanggup kembali mekar,
Tahun depan siapakah yang berada di tengah kamar?
Cing Bing, Tan Lioe Ie (antalogi Malam Cahaya Lampion, Bentang, Mei 2005)
Untuk Giam Lo Ong
Dibelah semangka merah
Sebab tertulis di langit :
Belah semangka merah
Tak putus garis keturunan.
Bapakku Telah Pergi, Mardi Luhung (antalogi Ciuman Bibirku Yang Kelabu: Akar, Maret 2007)
Bapakku telah pergi,
Menemui pembakaran
Ruang suci tempat selesaian
Tapi ekor-ekor yang ditinggalnya
Membelit tubuhku
Menciptakan jarak, yang ujungnya
Cao Xueqin memuisikan kematian dengan keindahan alam yang digambarkan melalui bunga dan burung sebagaimana masyarakat Tionghoa meninggal pada zaman itu dikuburkan di pegunungan. Sedangkan Tan Lioe Ie mengawinkan legenda klasik Sampek Engtay dengan mitos ritual semangka merah. Tetapi Mardi Luhung, penyair yang terlahir dari bapak Tionghoa dan ibu Jawa, dan kini bermukim di daerah pesisir, memandang kematian adalah prosesi yang disamakan dengan laut dan ikan-ikan. Perbandingan ini menarik untuk disimak. Karena bagaimana pun latar belakang penyair akan masuk dalam puisi-puisinya.
Dalam buku antalogi puisi Tan Lioe Ie Malam Cahaya Lampion, masih bisa diendus aroma Tiongkok walaupun hanya dalam mitos ritual yang dipergunakan sebagai eksplorasi ide. Kita masih bisa menemukan simbol-simbol oriental seperti naga, dupa, dan arak. Tetapi pada buku puisi Mardi Luhung Ciuman Bibirku Yang Kelabu, hanya dapat ditemukan jejak "kecinaannya" pada sebuah puisi yang bercerita tentang prosesi kremasi. Sebuah kecinaan yang ambigu, mengingat sekarang bukan orang Tionghoa saja yang meninggal dengan cara dikremasi. Pada masyarakat Bali kita mengenal ritual pembakaran jenasah yang disebut ngaben.
Antalogi puisi klasik Tiongkok ini juga layak dijadikan pembelajaran bahwa untuk menerjemahkan puisi dari bahasa Mandarin ke bahasa Indonesia bukan sekadar menguasai kedua bahasa itu sama baiknya. Tetapi, juga harus kaya dengan kosa kata yang sesuai, membuatnya menjadi tetap enak dibaca, tanpa mengubah makna aslinya.
Ini sesuatu yang tidak mudah, mengingat puisi klasik Tiongkok bukanlah bagian dari budaya lisan seperti halnya pantun dalam sastra Melayu yang mempunyai rima. Tetapi puisi klasik Tiongkok adalah budaya tulis yang dibuat dari aksara-aksara simbol, sehingga tidak mengenal adanya rima. Bila dalam terjemahan Zhou Fuyuan ini ada "permainan" bunyi, sudah tentu mengandung risiko pergeseran makna yang merupakan "pengkhianatan" pada makna aslinya.
Tetapi, Sapardi Djoko Damono menghalalkan adanya "penghianatan" dari penerjemahan puisi klasik Tiongkok ini karena sebagaimana karya terjemahan lainnya, tidak mungkin bisa diterjemahkan sesuai bahasa aslinya karena akan menjadi kaku. Ketika sebuah karya diterjemahkan, bisa jadi karya tersebut menjadi karya penertjemahnya, bukan lagi menjadi karya penyair aslinya. Sebagaimana antalogi puisi klasik Tiongkok ini, begitu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka ia sudah menjadi bagian dari kesusasteraan Indonesia.
Buku antalogi puisi klasik Tiongkok ini tidak hanya bermanfaat karena merupakan studi banding kesusastraan, tetapi di dalamnya memuat ringkasan biografi 17 penyair penting Tiongkok: Qu Yuan, Tao Yuanming, Wang Wei, Li Bai, Du Fu, Bai Juyi, Li He, Li Shangyin, Li Yu, Liu Yong, Su Shi, Li Qingzhao, Lu You, Xin Qiji, Guan Hanqing, Chen Weisiong, dan Nalan Xing. Untuk kepentingan apresiasi pembaca, puisi-puisi yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia juga tetap menyertakan puisi aslinya.
Jadi, wajar bila bagi Sapardi Djoko Damono menikmati puisi klasik Tiongkok ini bukan sekadar untuk mendapatkan makna dari kata-kata yang berjajar, tetapi juga keindahan visual yang terpancar dari hasil permainan pena penyairnya dalam wujud kaligrafi (tanpa perlu mengerutkan kening untuk mereka-reka artinya).
Judul Buku : Purnama di Bukit Langit
Penulis : Zhou Fuyuan
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, April 2007
Tebal : 367 Halaman
*) Lan Fang, cerpenis, tinggal di Surabaya
dikutip dari http://www/gramedia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tak Komen....