Mengenai Saya

Foto saya
Jakarta, DKI, Indonesia
Abdullah Hariri (Hamba Allah yang lembut) demikian bapakku berharap seperti apa aku. Kakekku yang bijakpun tak lupa menyertakan harapannya terhadapku dengan menghadiahkan sebuah nama Moenir (yang bersinar terang). Lahir dan besar di tanah pemberani, dibesarkan oleh seorang penjual minyak tanah yang bijak,menjadi piatu sejak usia 2 tahun, namun tak pernah lepas dari kasih sayang orang tua...

15 Oktober 2008

mengutip lagi....

Pentingnya Soft Power Pergerakan Islam

Oleh Sumanto Al Qurtuby

Jika Islam memang agama yang “superior” dan paling unggul, kenapa tak ada satu pun negara berbasis Islam yang maju dan unggul dalam hal pendidikan, teknologi, kebudayaan, ekonomi, dst? Bahkan negara-negara berbasis Islam selalu mendapat rapor merah karena buruknya penghargaan terhadap kaum perempuan dan hak-hak fundamental kemanusiaan, rapuhnya birokrasi pemerintahan dan menjamurnya penyakit korupsi. Dalam dunia pendidikan, tak ada satu pun universitas Islam yang masuk “kelas dunia”. Ini tentu masalah sosial yang kompleks dan tak bisa diselesaikan dengan pekik “Allahu Akbar!” sambil mengacungkan pentungan dan mengambing-hitamkan Barat.

Kekerasan demi kekerasan kini terus mewarnai kawasan Islam sejak Arab Saudi, sampai Indonesia. Teror, pengeboman, pemaksaan (coercion), pembajakan, sweeping, penculikan, pengrusakan, pengeroyokan, seolah tidak mau berhenti, bahkan menunjukkan eskalasi yang mencemaskan. Kenyataan ini seolah membenarkan tesis sebagian orang Barat yang mengatakan dunia Islam adalah “dunia kekerasan” dan barbarisme, dan Islam adalah agama yang memproduksi teks-teks kekerasan sekaligus pengekspor kaum teroris-militan (Edward Said,Covering Islam).

Fenomena ini menyebabkan citra Islam sebagai agama damai, toleran, dan menjunjung tinggi keadaban (civility) menjadi redup, lumer, dan dipertanyakan banyak pihak. Slogan Islam “rahmatan lil alamin” dan “peaceful religion” kalah populer dengan hiruk-pikuk berita kekerasan dan vandalisme yang dilakukan kaum Muslim radikal. Peristiwa kekerasan berbagai kelompok Muslim militan di Indonesia belakangan ini juga meramaikan headlines koran-koran dan media Barat. Ini menambah daftar panjang tentang “fakta kekerasan dunia Islam.”

Memang ada yang tidak fair dalam proses pemberitaan media Barat dan komentar-komentar (sebagian) orientalis, politisi, tokoh agama, sarjana, dan warga Barat umumnya. Ketika kekerasan terjadi di negara-negara berbasis Islam, mereka langsung “tunjuk hidung” dan mengaitkannya dengan “watak dasar” Islam sebagai “violent religion” dan anti-pluralisme. Tapi ketika kekerasan serupa terjadi di kawasan berbasis non-Muslim (misalnya Israel, Irlandia Utara, Eropa Timur, negara-negara bekas Uni Soviet, India, China, dan Amerika Latin) mereka tak pernah mengaitkannya dengan agama tertentu. Saat WTC dan Pentagon diserang teroris Muslim 11 September 2001 lalu, banyak warga Barat (AS khususnya) yang berbondong-bondong memborong Al-Qur’an guna memeriksa hubungan Islam dan terorisme global.

Para komentator politik dan agama sibuk menguliti akar-akar terorisme Islam. Buku Bernard Lewis, What Went Wrong? yang mengkaji akar-akar sejarah terorisme dan kekerasan di dalam Islam menjadi rujukan kelompok “anti-Islam” guna menguatkan argumen tentang Islam sebagai “violent religion.” Buku-buku Angel Rabasa, analis politik di RAND Corporation, khususnya tentang “jaringan terorisme global”, sangat sering dikutip. Uniknya, ketika rezim George W. Bush membombardir Afghanistan dan Iraq, tak ada kaum Muslim yang bergairah membeli Injil guna mempelajari doktrin-doktrin Kristen tentang perang dan terorisme.

***

Beberapa penjelasan bisa dikemukakan untuk membaca fenomena kekerasan di dunia Islam saat ini. Secara sosiologis, aspek kesenjangan sosial (social gaps) yang begitu nyata antara Muslim dan non-Muslim, antara Timur dan Barat, adalah salah satu faktor. Secara ekonomi juga terjadi gap yang begitu lebar antara “dunia Islam” yang kering-kerontang dengan “dunia Barat” yang makmur-berlimpah. Pada aspek kultural, kita juga menyaksikan dominasi “budaya Barat” yang terus merangsek ke kawasan Islam. Keunggulan teknologi menjadi faktor penentu dominasi kebudayaan ini. Kawasan Islam yang miskin teknologi harus menjadi “pemangsa” dan “pemamah” kebudayaan asing yang “diselundupkan” lewat TV, film, internet, dll. Sementara dari aspek politik, tampak adanya infiltrasi, dominasi dan penekanan AS (sebagai “simbol Barat”) terhadap “Dunia Ketiga” yang mayoritas kawasan Islam.

Inilah yang membuat kelompok “multicultural liberal” membagi dunia menjadi dua kategori ekstrem: “the oppressors” yang diwakili Barat-Kristen-Yahudi (terutama AS) dan “the victims” yang direpresentasikan kaum Muslim. Fakta keterdesakan ini telah membuat sebagian umat Islam yang “berpikiran pendek” gusar dan panik, sehingga melampiaskannya dengan cara-cara kekerasan. Dengan kata lain, kekerasan sebetulnya bisa dibaca sebagai “cermin” dari kepanikan sekaligus ketidakberdayaan kultural dan politik dalam menghadapi dominasi, hegemoni dan penetrasi kebudayaan global yang dimainkan Barat. Agar tindakan mereka seolah-olah “legal” dan “sesuai dengan spirit Islam” dipakailah sejumlah teks-teks, doktrin, ajaran, tradisi, sejarah, dan wacana keislaman sebagai basis legitimasi teologis perilaku brutal mereka. Doktrin jihad pun ditafsirkan secara sempit sebagai tindakan ofensif terhadap apa yang mereka sebut “musuh-musuh Islam”.

Karena itu, retorika kaum fundamentalis Muslim yang sering kita dengar adalah: mereka bertindak demi “membela Tuhan” dan “tegaknya Islam.” Konfrontasi dan kekerasan, dalam pandangan mereka, adalah satu-satunya jalan (the only path) untuk menunjukkan superioritas, “keperkasaan” dan “kedigdayaan” Islam sebagai agama yang “unggul dan tak ada yang lebih unggul darinya” (ya’lu wala yu’la alaih). Sebaliknya, sikap mengutamakan dialog, persuasi, dan gerakan damai (peaceful and nonviolent movements) dianggap sebagai bentuk kepengecutan dan ekspresi inferioritas.

Ini tentu logika yang menggelikan dan apologetik. Jika Islam memang agama yang “superior” dan paling unggul, kenapa tak ada satu pun negara berbasis Islam yang maju dan unggul dalam hal pendidikan, teknologi, kebudayaan, ekonomi, dst? Bahkan negara-negara berbasis Islam selalu mendapat rapor merah karena buruknya penghargaan terhadap kaum perempuan dan hak-hak fundamental kemanusiaan, rapuhnya birokrasi pemerintahan dan menjamurnya penyakit korupsi. Dalam dunia pendidikan, tak ada satu pun universitas Islam yang masuk “kelas dunia”. Ini tentu masalah sosial yang kompleks dan tak bisa diselesaikan dengan pekik “Allahu Akbar!” sambil mengacungkan pentungan dan mengambing-hitamkan Barat. Teriakan Allahu Akbar dan menyumpah Barat hanyalah ibarat pepatah: buruk muka cermin dibelah.

***

Ke depan, umat Islam harus menata diri, berbenah, sambil merumuskan strategi gerakan keislaman yang jitu, cerdas, santun, dialogis, peaceful, dan beradab. Cara-cara kekerasan hanya akan menambah wajah buram Islam di mata dunia serta semakin memperuncing ketegangan Islam-non-Islam dan Timur-Barat. Jalan kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan baru sehingga umat manusia akan terjebak di dalam “lingkaran setan” kekerasan yang merugikan semua pihak. Dari perspektif keislaman, tindakan kekerasan juga berlawanan dengan spirit dasar Islam sebagai “agama damai”. Kata “Islam” dalam The Hans Wehr Dictionary of Modern Written Arabic selain bermakna “ketundukan, penerimaan, dan rekonsiliasi” (terhadap keinginan Tuhan) juga berarti “perdamaian, keselamatan, keamanan, dan kesejahteraan” (Cowan, ed. 1976: 425-426). Dengan demikian, tindakan dan jalan kekerasan selain bertentangan dengan “misi” dan “khittah” Islam, juga bukan solusi terbaik untuk mengatasi aneka masalah di negara-negara Muslim, termasuk Indonesia (Abu-Nimer, Nonviolence and Peacebuilding in Islam).

Untuk itu, gerakan Islam perlu mengedepankan pendekatan “soft power,” melalui medium-medium komunikasi budaya, sarana pengetahuan, pendidikan, diplomasi, dan alat-alat politik yang diaktualisasikan dengan cara-cara nirkekerasan dan dialog lintas-peradaban dan kemanusiaan (Nye, Soft Power: the Means To Success in World Politics).  Dalam rangka mengaktualisasikan strategi dan pendekatan “soft power” tadi, sejumlah intelektual NU belum lama ini mendirikan Komunitas Nahdhatul Ulama Amerika Serikat dan Kanada (KNU AS-Kanada). KNU AS-Kanada (juga ormas-ormas keislaman sejenis) yang berwawasan pluralis dan terbuka, diharapkan dapat menjembatani ketegangan dan jurang pemisah antara Islam-Kristen (juga agama lain) dan Timur-Barat. KNU AS-Kanada juga diharapkan menjadi bagian dari organisasi civil society yang turut berpartisipasi dalam menyelesaikan problem keumatan, keislaman, dan kemanusiaan.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tak Komen....