Mengenai Saya

Foto saya
Jakarta, DKI, Indonesia
Abdullah Hariri (Hamba Allah yang lembut) demikian bapakku berharap seperti apa aku. Kakekku yang bijakpun tak lupa menyertakan harapannya terhadapku dengan menghadiahkan sebuah nama Moenir (yang bersinar terang). Lahir dan besar di tanah pemberani, dibesarkan oleh seorang penjual minyak tanah yang bijak,menjadi piatu sejak usia 2 tahun, namun tak pernah lepas dari kasih sayang orang tua...

12 Juli 2011

LPI, PSSI dan Revolusi PSSI

Gegap Gempita dukungan Rakyat untuk Team Nasional (photo by PAS)
Olah raga voetbal atau Sepak bola diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia sejak akhir 1920, dan biasa dimainkan untuk meramaikan pasar malam. Lapangan Singa (Lapangan Banteng) menjadi saksi di mana orang Belanda sering menggelar pertandingan panca lomba (vijfkam) dan tienkam(dasa lomba). Khusus untuk sepak bola, serdadu di tangsi-tangsi militer paling sering bertanding. Mereka kemudian membentuk bond sepak bola atau perkumpulan sepak bola. Dari bond-bond itulah kemudian terbentuk satu klub besar. Tak hanya serdadu militer, tapi juga warga Belanda, Eropa, dan Indo membuat bond-bond serupa.

Dari bond-bond itu kemudian terbentuklah Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB) yang pada tahun 1927 berubah menjadi Nederlandsch Indische Voetbal Unie (NIVU). Sampai tahun 1929, NIVU sering mengadakan pertandingan termasuk dalam rangka memeriahkan pasar malam dan tak ketinggalan sebagai ajang judi. Bond China menggunakan nama antara lain Tiong un Tong, Donar, dan UMS. Adapun bond pribumi biasanya mengambil nama wilayahnya, seperti Cahaya Kwitang, Sinar Kernolong, atau Si Sawo Mateng.

Pada 1928 dibentuk Voetbalbond Indonesia Jacatra (VIJ) sebagai akibat dari diskriminasi yang dilakukan NIVB. Sebelumnya bahkan sudah dibentuk Persatuan Sepak Bola Djakarta (Persidja) pada 1925. Pada 19 April 1930, Persidja ikut membentuk Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) di gedung Soceiteit Hande Projo, Yogyakarta. Pada saat itu Persidja menggunakan lapangan di Jalan Biak, Roxy, Jakpus.

Pada tahun 1930-an, di Indonesia berdiri tiga organisasi sepakbola berdasarkan suku bangsa, yaitu Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB) yang lalu berganti nama menjadi Nederlandsch Indische Voetbal Unie (NIVU) di tahun 1936 milik bangsa Belanda, Hwa Nan Voetbal Bond(HNVB) punya bangsa Tionghoa, dan Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI) milik orang Indonesia.

Memasuki tahun 1930-an, pamor bintang lapangan Bond NIVB, G Rehatta dan de Wolf, mulai menemui senja berganti bintang lapangan bond China dan pribumi, seperti Maladi, Sumadi, dan Ernst Mangindaan. Pada 1933, VIJ keluar sebagai juara pada kejuaraan PSSI ke-3.

Pada 1938 Indonesia lolos ke Piala Dunia. Pengiriman kesebelasan Indonesia (Hindia Belanda) sempat mengalami hambatan. NIVU (Nederlandsche Indische Voetbal Unie) atau organisasi sepak bola Belanda di Jakarta bersitegang dengan PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) yang telah berdiri pada bulan April 1930. PSSI yang diketuai Soeratin Sosrosoegondo, insinyur lulusan Jerman yang lama tinggal di Eropa, ingin pemain PSSI yang dikirimkan. Namun, akhirnya kesebelasan dikirimkan tanpa mengikutsertakan pemain PSSI dan menggunakan bendera NIVU yang diakui FIFA.

Pada masa Jepang, semua bond sepak bola dipaksa masuk Tai Iku Koi bentukan pemerintahan militer Jepang. Di masa ini, Taiso, sejenis senam, menggantikan olahraga permainan. Baru setelah kemerdekaan, olahraga permainan kembali semarak.

Tahun 1948, pesta olahraga bernama PON (Pekan Olahraga Nasional) diadakan pertama kali di Solo. Di kala itu saja, sudah 12 cabang olahraga yang dipertandingkan. Sejalan dengan olahraga permainan, khususnya sepak bola, yang makin populer di masyarakat, maka kebutuhan akan berbagai kelengkapan olahraga pun meningkat. Di tahun 1960-1970-an, pemuda Jakarta mengenal toko olahraga Siong Fu yang khusus menjual sepatu bola. Produk dari toko sepatu di Pasar Senen ini jadi andalan sebelum sepatu impor menyerbu Indonesia. Selain Pasar Senen, toko olahraga di Pasar Baru juga menyediakan peralatan sepakbola.

Pengaruh Belanda dalam dunia sepak bola di Indonesia adalah adanya istilah henbal, trekbal (bola kembali), kopbal (sundul bola), losbal (lepas bola), dan tendangan 12 pas. Istilah beken itu kemudian memudar manakala demam bola Inggris dimulai sehingga istilah-istilah tersebut berganti dengan istilah persepakbolaan Inggris. Sementara itu, hingga 1950 masih terdapat pemain indo di beberapa klub Jakarta. Sebut saja Vander Vin di klub UMS; Van den Berg, Hercules, Niezen, dan Pesch dari klub BBSA. Pemain indo mulai luntur di tahun 1960-an

Perjalanan panjang PSSI sejak dipimpin oleh Ketua Umum pertama Ir. Soeratin pada 1930 hingga saat ini telah melalui berbagai hal. Dan di sepanjang perjalannya itu, PSSI seakan-akan kehabisan tinta emas untuk menorehkan prestasinya baik di tingkatan regional maupun internasional. Lolosnya Tim Nasional Indonesia (waktu itu bernama Dutch East Indies = Hindia Belanda ) ke ajang Piala Dunia 1938, pada saat itu Tim Nasional yang lolos tidak berada di bawah kendali PSSI, melainkan NIVU (Nederlandsche Indische Voetbal Unie) atau organisasi sepak bola Belanda di Jakarta, di bawah asuhan pelatih berkebangsaan Belanda Johannes Christoffel van Mastenbroek.

Di bawah PSSI melalui PT. Liga Indonesia (dahulu BLI) berlangsung beberapa tingkatankompetisi mulai dari Divisi I, Divisi Utama, dan yang paling atas adalah Liga Super Indonesia (LSI). Sebelumnya, sejarah panjang kompetisi di tanah air telah berlangsung sejak lama, diantaranya adala dualisme kompetisi Liga Sepakbola Utama (Galatama) yang mempertemukan team-team swasta non APBD dengan Liga Perserikatan, kemudian peleburan kedua liga tersebut menjadi Divisi-Divisi kompetisi yang terbagi dalam beberapa wilayah, hingga format kompetisi Liga Super Indonesia yang diikuti oleh 18 team dan menggunakan sistem kompetisi penuh (Home-Away).

Sejarah panjang yang membentuk kompetisi tersebut diikuti pula oleh sejarah panjang masing-masing team peserta Liga Super Indonesia. Sehingga masing-masing team peserta LSI disamping mengikuti kompetisi secara nasional, namun di bawahnya juga memiliki akademi pembinaan dan liga domestik yang diikuti oleh team-team binaan yang tersebar ke dalam wilayah-wilayah yang lebih kecil, sehingga bisa dikatakan bahwa kompetisi LSI dan tingkatan dibawahnya adalah sistem kompetisi yang memiliki dukungan yang masif dan disertai pula dengan sistem pembinaan yang telah berlangsung sejak lama.

Di tahun 2011 atau tahun ke 8 (delapan) kepemimpinan Ketua Umum PSSI paling kontroversial dan minim prestasi Nurdin Halid, muncul gelaran kompetisi lain yang disebut dengan Liga Primer Indonesia (LPI). Berdalih meneruskan hasil Kongres Sepakbola Nasional yang berlangsung di Malang, Jawa Timur tahun sebelumnya, kompetisi yang dimotori oleh raja minyak Arifin Panigoro ini diikuti oleh 19 team yang 15 diantaranya adalah team yang baru terbentuk dan notabene tidak atau belum memiliki sistem pembinaan dan dukungan suporter yang masif. Analisa dari berbagai pihak, kemunculan LPI adalah akumulasi dari kekecawaan terhadap PSSI pimpinan duet Nurdin Halid dan Nugraha Besoes.

Jauh sebelumnya, kemunculan PSSI dibawah pimpinan Ir. Soeratin berawal dari semangat nasionalisme dan kebangsaan ketika pada saat itu, organisasi sepakbola yang ada adalah organisasi sepakbola yang berdasarkan atas suku bangsa. Sehingga dengan semangat nasionalisme dan kebangsaan Ir. Soeratin membentuk PSSI yang memiliki tugas mulia untuk mempersatukan bangsa melalui sepakbola.

Kondisi persepakbolaan nasional yang minim prestasi dan kerapkali diwarnai dengan ketidakpuasan dan kecurigaan adanya ketidakjujuran dan minimnya sportifitas di dalam kompetisi dalam negeri mengundang seluruh pelaku dan pengamat sepakbola nasional untuk menyuarakan adanya reformasi Sepakbola Nasional. Kegerahan terhadap kondisi yang ada ini makin memuncak ketika Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menyerukan untuk dilangsungkannya Kongres Sepakbola Nasional yang diikuti tidak hanya oleh pelaku sepakbola yang terlibat didalam lapangan dan pengambil kebijakan dalam sistem sepakbola nasional,a akan tetapi juga diikuti oleh berbagai pihak dan elemen diluar itu yang respect terhadap kondisi sepakbola nasional, tidak terkecuali para jurnalis dan pengamat sepakbola.

Mandegnya hasil Kongres Sepakbola Nasional yang salah satunya menyerukan adanya reformasi membuat gerah para pihak terutama yang berada di luar sistem pengambil keputusan sepakbola nasional. Kegerahan dan kekecewaan itu semakin terakumulasi dan melibatkan banyak pihak termasuk taipan ternama Arifin Panigoro. Dengan menggelontorkan dana puluhan Milyar Rupiah, Arifin Panigoro yang juga dikenal penggila bola memotori jalannya LPI.

Berkiblat pada sistem kompetisi luar negeri khususnya eropa yang menganut sistem Industri Sepakbola dalam sistem kompetisinya, LPI digelar mulai 8 Januari 2011. Namun ada beberapa hal yang menurut pengamatan penulis lolos dari perhatian para penggagas LPI. Yang pertama adalah bahwa sistem kompetisi berbasis Industri Sepakbola di eropa adalah sistem kompetisi yang bersifat bottom up, sehingga setiap team yang mengikuti kompetisi telah masif sejak tingkatan bawah, mulai dari sistem pembinaan yang matang dan team-team binaannya, sehingga dengan dukungan (market) yang besar bisa dikatakan bahwa Industri akan berjalan dengan baik, karena sistem pasar akan berjalan dengan baik. Hal ini bertolak belakang dengan LPI yang lebih bersifat top down, dimana kompetisi ini bisa berjalan karena adanya kucuran dana yang luar biasa besar, dan sistem kendali yang tersentral di pusat. Yang kedua, sistem pembinaan sejak usia dini yang tidak atau belum diperhatikan dengan seksama di LPI mengancam masa depan masing-masing team, sehingga di khawatirkan LPI hanya akan menjadi industri, tanpa melahirkan dan membina sosok-sosok penuh talenta. Yang ketiga dan tidak kalah pentingnya, kucuran dana yang begitu besar akan memicu minat para pegiat proyek untuk mengajukan proposal proyek baru yaitu ......FC.

Seluruh elemen bangsa ini tentunya berharap ada 11 bintang lapangan hijau diantara 250juta rakyatnya yang berjuang memperjuangkan nama besar Indonesia di kancah Internasional. Hal tersebut tentunya memerlukan kerja keras dan ketulusan dari pihak-pihak terkait. Jika ada satu atau lebih orang yang tidak memiliki semangat kerja keras dan ketulusan berada di dalam suatu sistem, bukan berarti kemudian kita harus merombak dan merusak sistem tersebut. Semua pihak menyadari bahwa diperlukan adanya reformasi atau bahkan revolusi di tubuh PSSI, namun revolusi hanya akan berjalan jika di dukung secara masif dari bawah hingga keatas, bukan sebaliknya. (lek)

posted on : LPI, PSSI dan Reformasi Sepakbola Nasional

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tak Komen....