Beberapa saat terakhir ini, di social media sedang ramai di bicarakan pro dan kontra wacana merger antara klub Liga Super Indonesia (LSI/ISL) dan Liga Primer Indonesia (LPI). Wacana ini bermula dari pernyataan Komisaris Persebaya 1927 yang juga salah satu penggagas LPI Saleh Mukaddar sebagaimana dilansir oleh Tempo Interaktif. Dalam wawancaranya Saleh Mukaddar menyampaikan "Pasti (LPI) dihentikan. FIFA melarang ada dua liga dalam satu negara," dan sebagai gantinya PSSI segera membentuk liga baru untuk penggabungan ISL dan LPI. Lebih lanjut saleh mengungkapkan bahwa bagi daerah yang telah memiliki klub yang sudah berbentuk PT, maka penggabungan akan mudah dilakukan. Misalnya Persipura akan digabung dengan Cendrawasih FC, kemudian Semen Padang dengan Kabau Padang, Jakarta FC dengan Persija, Batavia Union dengan Persitara, Persib dengan Bandung FC, dan PSB dengan Bogoraya.
Yang menarik dari wawancara diatas adalah ketika Saleh (disebutkan di berita) sebagai salah satu penggagas LPI mengatakan bahwa "FIFA melarang ada dua liga dalam satu negara". Pernyataan tersebut tentunya menjadi tanda tanya yang amat besar bagi kita semua, kalau memang beliau memahami bahwa FIFA melarang ada dua liga dalam satu negara, lantas dengan pertimbangan apa beliau menggagas liga ketika sudah ada liga yang berjalan?.
Wacana penggabungan 2 atau beberapa club yang berada dalam satu kota dan berada dalam liga yang berbeda ini tentunya menarik perdebatan pro dan kontra. Sebelumnya, team Promosi Persiba Bantul dengan tegas menolak wacana penggabungan ini sebagaimana dilansir dalam web komunitas suporternya Paserbumi Online disampaikan melalui Wakil Manager bidang Operasional, Bagus Nur Edi Wijaya, secara tegas menolak. “Ini masalah rasa keadilan. Persiba butuh 10 tahun, dari Divisi III untuk bisa masuk ISL. Belum lagi puluhan Milyar Rupiah dana yang kita habiskan hingga sekarang,” ujar Bagus, Senin (11/7). Dari sisi keadilan memang jelas amat timpang. Bagaimana mungkin, tim yang baru kemarin sore berdiri, ujug-ujug masuk ke kasta tertinggi Sepakbola Indonesia. Seakan tak sebanding bila mengingat keringat, darah hingga cidera para pemain yang telah membela skuad Laskar Sultan Agung. Penolakan lain juga disamaikan oleh komunitas suporter pendukung Sriwijaya FC, yaitu Singamania melalui akun twitternya @SingaManiaSFC Hrs ada jalan keluar yg terbaik utk kompetisi di tanah air,wacana merger sangat tidak relevan & mencederai semangat sportivitas dlm olahraga. Sedangkan komunitas suporter JakMania pendukung Persija Jakarta melalui akun twitternya @JakOnline juga dengan tegas melakukan penolakan terhadap wacana merger ini.
Peraturan Menteri Dalam Negeri (PerMenDagri) No. 1 Tahun 2011 tentang APBD yang mengatur pelarangan alokasi APBD untuk Club Sepak Bola menjadi salah satu pertimbangan lain disamping adanya larangan dua liga dalam satu federasi. Sebelumnya pada tahun 2006 juga sudah dikeluarkan peraturan sejenis dengan bahasa yang kurang lugas. Artinya bahwa sosialisasi dari pelarangan dana APBD untuk Club Sepakbola telah dilakukan sejak jauh-jauh hari sebelumnya. Sehingga diyakini club juga sudah melakukan persiapan-persiapan dalam rangka pelaksanaan peraturan tersebut. Mayoritas club ISL yang memang masih menggunakan dana APBD sebenarnya perlahan-lahan sudah mulai berkurang. Pada musim kompetisi 2010/2011 club non APBD bertambah satu lagi dengan masuknya Semen Padang sebagai team promosi. Sementara itu, disamping Arema Indonesia yang sejak awal berdirinya tidak pernah menggunakan dana APBD, Persib Bandung melalui PT. Persib Bandung Bermartabatnya juga sudah melakukan upaya-upaya untuk lepas dari cengkraman APBD, belum lagi Pelita Jaya Karawang yang juga alumni Galatama juga sudah sejak lama tidak menggunakan dana APBD. Artinya, dalam kondisi yang berubah, sebagaimana makhluk hidup, club akan melakukan berbagai macam penyesuaian dan usaha untuk tetap survive, sebagaimana teori Charles Darwin yang berlaku untuk makhluk hidup, pada club pun perilaku dan kebiasaan akan mengalami perubahan. Terlebih lagi bagi club2 yang memiliki basis suporter kuat seperti Persija Jakarta, Persiba Bantul yang baru lolos promosi, Persipura Jayapura, Sriwijaya FC, Semen Padang, dan hampir seluruh club peserta ISL lainnya.
Suporter adalah stake holder sesungguhnya dalam dunia sepakbola. Dalam wacana sepakbola Industri, antusiasme suporter adalah kebutuhan yang mutlak. Lihat saja club2 dari negara industri sepakbola maju seperti Inggris. Liverpool, Arsenal, Manchester United, dan club2 lainnya dari Premiere League ketika jeda kompetisi melakukan tour/kunjungan ke beberapa negara diluar benuanya untuk melakukan kunjungan dan penguatan basis-basis suporternya yang ada di luar Inggris dan Eropa. Dapat dimaklumi bahwa dari penjualan hak siar televisi, penjualan merchandise, club bisa mendapatkan pemasukan yang cukup besar disamping dari penjualan tiket stadion. Dengan demikian dapat ditarik satu benang biru bahwa Besarnya dukungan suporter akan berbanding lurus dengan besarnya potensi bisnis. Perencanaan bisnis yang seksama, strategi penggalian pos-pos pemasukan melalui berbagi sektor, upaya-upaya untuk menggaet sponsor dan sumber pemasukan lainnya memang perlu disusun secara cermat dan sistematis. Namun secermat dan sistematis apapun, hal tersebut dilakukan,jika tidak memiliki pasar akan percuma saja. Dalam dunia industri sepakbola, Suporter adalah pasar.
Konsep industrialisasi sepakbola yang ditawarkan oleh LPI memang menarik, proporsi pembagian saham Liga, dana sponsorship, hak siar televisi dan berbagai potensi pemasukan lainnya yang lebih berat kepada Club memberikan rasa adil bagi masing-masing club, karena bagaimanapun juga dalam piramida suatu liga, yang mengeluarkan biaya besar adalah club. Club membutuhkan biaya untuk mengontrak dan menggaji pemain, operasional pertandingan home dan away, an biaya-biaya lainnya. Oleh karena itu, proporsi pembagian pemasukan dengan lebih besar kepada club adalah suatu hal yang menarik. Namun yang patut dipertanyakan adalah dengan basis massa penonton yang tidak besar seberapa besarkan pemasukan yang didapatkan? Berbeda dengan ISL yang data penonton langsungnya selalu terupdate setiap pertandingan, hingga putaran pertama usai, statistik data penonton masih belum dapat disimak di web resmi LPI . Namun dari pertandingan disiarkan secara langsung oleh stasiun televisi Indosiar pada putaran pertama yang lalu, dapat disimak bahwa selain pertandingan home Persebaya 1927, PSM Makassar, Persibo Bojonegoro dan Bali Devata dapat disaksikan bahwa rata-rata kurang dari 10% kapasitas stadion terisi. Bahkan Persema Malang sampai menghadirkan Cheer Leader untuk memberikan daya tarik tontonan, namun hal tersebut masih belum mampu mengundang penonton lebih banyak ke Stadion.
Bisnis Sepakbola bukanlah bisnis olah raga, namun bisnis tontonan. Olah Raga Sepakbola adalah sportifitas, bukan bisnis. Yang dibisniskan adalah tontonan dan hiburannya. Oleh karena itu, faktor penonton baik yang datang langsung ke stadion maupun melalui televisi adalah hal yang sangat penting. Seberapa besar jumlah penonton dan penggemar sebuah club akan menjadi bahan pertimbangan yang mendasar bagi pihak investor dan sponsorship untuk bekerjasama, hal ini menjadi hal yang sangat bisa dimaklumi karena akan terkait dengan seberapa besar branding sponsor mereka akan terpasarkan. Memberikan investasi ataupun pinjaman kepada club pun juga akan mempertimbangkan faktor sponsorship. Lihat saja bagaimana kekhawatiran komunitas Persibo Bojonegoro (Boromania) yang disampaian dalam tweetnya "@Bor0_Mania Persibo masuk LPI sudah Profesional? "saya" kira belum. Lepas dari APBD tetapi masih memakai pinjaman konsorium. " (Tweet 17 Juli jam sekitar 23.00), menjawab pertanyaan followernya, lebih lanjut mereka menyatakan "@Boro_Mania @super26hery Persibo dapat pinjaman kurang lebih 25 M, bagaimana bisa mengembalikan duit segitu padahal penonton di stadion berkurang." Dari hal tersebut dapat disimak bahwa ada kekurangcermatan dalam merencanakan strategi bisnis dan investasi LPI kepada masing2 club.
Disamping itu, permasalah juga akan dihadapi oleh kubu LPI dan masing-masing clubnya jika wacana merger direalisasikan. Sebagaimana disampaikan di awal peluncuran liga bahwa kontrak pemain oleh club mengacu pada kontrak pemain di negara-negara maju, yaitu dengan menggunakan kontrak jangka panjang (lebih dari 1 musim). Disamping itu, putaran penuh kompetisi yang belum rampung tentunya juga masih meninggalkan kewajiban-kewajiban kepada pihak sponsorship dan stasiun televisi penyiar yang tentunya sebelumnya juga sudah melakukan kontrak secara profesional, dan sebagai liga profesional tentunya durasi kontraknya juga tidak mungkin kurang dari satu musim. Terlebih lagi kontrak dengan sponsor-sponsor besar seperti Coca Cola, Microsoft, dan perusahaan kelas dunia lainnya yang bisa dipastikan memiliki jajaran team legal yang kuat dan berpengalaman, sehingga tidak mungkin asal dan memiliki celah hukum yang mudah untuk diakali dalam menyusun kontrak.
Besarnya pinjaman keuangan yang diberikan oleh konsorsium LPI kepada club yang begitu besar juga menimbulkan kekhawatiran tersendiri bahkan oleh komunitas suporter peserta kompetisi LPI. Hal ini tentunya juga akan menjadi pertanyaan jika dilakukan merger, apakah pinjaman itu juga akan turut menjadi kewajiban bersama atau sepeti apa? Jika profesionalisme dan kemandirian yang dikedepankan, maka tanpa dilakukan merger, jajaran kepengurusan PSSI Baru yang diisi oleh kalangan intelektual dan akademisi tentunya memiliki segudang pengalaman untuk melakukan pelatihan dan transformasi wacana terkait dengan pengelolaan club berbasis industri kepada masing-masing club, disamping itu juga dengan melakukan perubahan system kompetisi yang selama ini berlaku di ISL, melakukan pendampingan dan supervisi kepada masing-masing club untuk bisa menuju club yang mandiri. Proses edukasi dan advokasi adalah proses yang biasa direncanakan dan dijalankan oleh akademisi, oleh karena itu, saya yakin bahwa wacana merger yang merupakan pemikiran yang dangkal dan kurang mendasar akan menjadi wacana yang tidak akan masu ke dalam kerangka berfikir para kaum akademisi yang berada di jajaran pengurus teras PSSI Baru.
posted on : http://aremasenayan.com/2011/07/18/isl-lpi-merger-or-no.php
Mengenai Saya
- Moenir
- Jakarta, DKI, Indonesia
- Abdullah Hariri (Hamba Allah yang lembut) demikian bapakku berharap seperti apa aku. Kakekku yang bijakpun tak lupa menyertakan harapannya terhadapku dengan menghadiahkan sebuah nama Moenir (yang bersinar terang). Lahir dan besar di tanah pemberani, dibesarkan oleh seorang penjual minyak tanah yang bijak,menjadi piatu sejak usia 2 tahun, namun tak pernah lepas dari kasih sayang orang tua...
18 Juli 2011
12 Juli 2011
Sejuta Pesona Arema Indonesia
Umurnya memang belum sepanjang kebanyakan klub mantan perserikatan yang berdiri sejak awal masa berdirinya PSSI, namun antusiasme masyarakat bukan hanya dari Malang Raya atau masyarakat asli Malang Raya yang merantau di tempat lain yang memberikan dukungannya untuk team berlogo Singa ini. Jargon Tidak Kemana-mana tapi dimana-mana bukan hanya isapan jempol, lihat saja ketika kami selesai mendukung Arema Indonesia menghadap Persijap Jepara di Jepara (8 Juni 2011), ketika perjalanan kembali ke Jakarta kami mendapat tumpangan dari rombongan Aremania Wonosobo. Yang mengejutkan adalah fakta bahwa seluruh peserta rombongan Aremania Wonosobo yang memenuhi sebuah minibus tidak satupun warga asli Malang Raya, 100% anggota komunitas Aremania Wonosobo adalah warga Wonosobo asli yang menurut nawak-nawak Aremania Wonosobo sendiri mendapatkan panggilan hati untuk menjadi seorang Aremania.
Membludaknya dukungan terhadap Arema Indonesia dari berbagai tingkatan masyarakat di Tanah Air adalah bukti bahwa Arema Indonesia memiliki sejuta pesona. Karakter “Singo” yang dibawa arek-arek Malang, loyalitas, kreatifitas, dan sportifitas yang dicontohkan oleh Suporter Aremania juga menjadi salah satu faktor pendukung semakin besarnya dukungan bagi team lokal asal Malang ini. Belum lagi di dunia internasional, sebagai contoh pergilah ke Chili, sebagian masyarakat awam disana akan bertanya jika anda mengatakan berasal dari Indonesia, tapi mereka akan menyambut hangat ketika anda mengucapkan kata Arema.
Melihat fenomena tersebut, seharusnya Arema Indonesia juga memiliki pesona yang sama bagi sponsorship dan investor sehingga kasus krisis keuangan yang berulang setiap tahunnya tidak perlu terjadi. Sejak awal musim ini saja, Arema Indonesia yang saat ini operasional pengelolaannya dilaksanakan oleh PT. Arema Indonesia dibawah Yayasan Arema hampir selalu menunggak gaji pemain. Pembayaran gaji yang dilakukan tidak pernah tuntas dan selalu meninggalkan jejak hutang gaji sebelumnya. Hengkangnya Pierre Njanka setelah pertandingan melawan Persija Jakarta pada 9 Januari 2011 lalu seharusnya dijadikan alat evaluasi bagi pengurus dan pengelola Arema. Dengan tunggakan gaji 3 bulan, pemain berhak untuk meninggalkan club tanpa kompensasi apapun. Namun, pada kenyataannya masalah tunggakan gaji ini masih juga berlanjut pada bulan-bulan berikutnya.
Hal ini menjadi kebingungan tersendiri bagi Aremania melihat bagaimana team dengan potensi seperti Arema Indonesia bisa berada dalam kondisi krisis keuangan terus menerus seperti ini. Sinyalemen dan statement pembayaran gaji seolah-olah hanya sebuah bualan terus menerus yang didengungkan oleh pengurus namun tak kunjung direalisasikan. Apakah memang benar tidak ada satupun sponsor dan investor yang berminat terhadap Arema Indonesia? Ataukah ada hal-hal lain yang menghalangi masuknya Investor ataupun Sponsorship ke tubuh team kebanggaan Aremania ini?
Kabar akan masuknya Bakrie sebagai Investor baru Arema Indonesia beberapa saat yang lalu sempat meramaikan media. Berbagai tanggapan pro dan kontra baik dari kalangan Aremania sampai dari pihak-pihak yang tidak punya kapasitaspun meluncur. Melihat dari kedekatannya secara emosional seperti yang pernah disampaikan melalui sebuah kultwit oleh @AremaniJogja beberapa hari yang lalu, bahwa sejak berdirinya Arema, Bakrie memang memiliki kedekatan dengan Arema. Peran serta Bakrie dalam mendukung Arema terutama dari segi pendanaan bukan hanya kali ini saja, namun sudah berlangsung sejak berdirinya Arema pada 1987. Bahkan, pada musim ini, Bakrie Group juga masuk sebagai Sponsor Arema melalui 2 anak perusahaannya yaitu Ijen Nirwana dan Surabaya Post yang logonya melekat di Jersey pemain Arema Indonesia. Kegilaannya terhadap Sepakbola memang bukan barang baru bagi masyarakat sepakbola di Indonesia, pembelian beberapa club di luar negeri menjadi pertanda akan hal ini. Belum lagi kepemilikannya terhadap Pelita Jaya yang sudah berlangsung sejak masa kompetisi Galatama. Secara prestasi, Pelita Jaya memang tidak prestisius seperti club-club besar lainnya, juga tidak Royal dalam membelanjakan pemain. Namun, munculnya pemain-pemain muda berbakat secara terus menerus menjadi satu indikasi bahwa ada proses pembinaan dan pelatihan yang berjalan.
Setelah 1-2 Minggu yang lalu kabar akan masuknya Bakrie sebagai investor Arema sempat meramaikan media, bahkan dikatakan prosesnya sudah mencapai 95% deal seolah-olah termentahkan ketika tadi malam, para pemain berkumpul di Kota batu untuk menerima pembayaran 3 bulan gaji yang tertunda. Disebutkan, sumber pembayaran gaji ini berasal dari para pengusaha Malang baik yang berada di Malang maupun di luar Malang yang peduli terhadap Arema. Yang menarik lagi, duo Nur ( Ketua Yayasan M. Nur dan Direktur Bisnis Siti Nurjannah) hadir pada acara tersebut dan seolah-olah memiliki peranan penting. Duo Nur yang selama sembilan bulan terakhir ini seolah-olah hilang ditelan bumi ketika para pemain menagih janji, akan tetapi cukup lantang berada di Barisan Kelompok 78 pada Kongres PSSI tiba-tiba saja hadir dan berperan dalam terlunasinya gaji pemain.
Wal hasil, pembayaran gaji pemainpun berbuntut panjang. Malam dibayar, paginya pengawas Yayasan Bambang Winarno yang juga Dosen FH Unibraw mengeluarkan pernyataan. Di dampingi Pelaksana Harian Abriadi Muhara dan Putra pendiri Arema (Alm. Acub Zainal) Sam Ikul, menyampaikan usulan pemecatan terhadap ketua Yayasan Arema M. Nur. Usulan ini untuk ditindaklanjuti oleh Pembina Yayasan Rendra Kresna. Hal ini menjadikan pertanyaan baru bagi Aremania, ada apakah sebenarnya dibalik ini semua. Asisten Pelatih Tony Ho dalam akun facebooknya bahkan menyatakan “LOYALITAS DIUJI OLEH SEGEPOK UANG PLASTIK BERWARNA MERAH” , bahkan dalam salah satu komentarnya dia menyampaikan lagi bahwa “MANUSIA BUTUH UANG,TP UANG BUKANLAH SE GALA2NYA APABILA INGIN MENGHIANATI PERSAUDARAAN, CUIH” .
Sejuta pesona Arema Indonesia benar-benar memabukkan. Banyak pihak yang berminat terhadap Arema Indonesia seharusnya membuat nilai tawar Arema semakin tinggi. Mudah-mudahan dugaan kami bahwa ada pihak-pihak yang mencoba mencari keuntungan atau memiliki kepentingan sendiri terhadap masuknya investor adalah hal yang salah. Mudah-mudahan hanya belum ketemu deal mekanisme yang tepat. Semoga saja, Sejuta Pesona Arema Indonesia akan mendatangkan Sejuta Sponsor dan Investor. (lek).
posted on : http://olahraga.kompasiana.com/bola/2011/06/14/sejuta-pesona-arema-indonesia/
Membludaknya dukungan terhadap Arema Indonesia dari berbagai tingkatan masyarakat di Tanah Air adalah bukti bahwa Arema Indonesia memiliki sejuta pesona. Karakter “Singo” yang dibawa arek-arek Malang, loyalitas, kreatifitas, dan sportifitas yang dicontohkan oleh Suporter Aremania juga menjadi salah satu faktor pendukung semakin besarnya dukungan bagi team lokal asal Malang ini. Belum lagi di dunia internasional, sebagai contoh pergilah ke Chili, sebagian masyarakat awam disana akan bertanya jika anda mengatakan berasal dari Indonesia, tapi mereka akan menyambut hangat ketika anda mengucapkan kata Arema.
Melihat fenomena tersebut, seharusnya Arema Indonesia juga memiliki pesona yang sama bagi sponsorship dan investor sehingga kasus krisis keuangan yang berulang setiap tahunnya tidak perlu terjadi. Sejak awal musim ini saja, Arema Indonesia yang saat ini operasional pengelolaannya dilaksanakan oleh PT. Arema Indonesia dibawah Yayasan Arema hampir selalu menunggak gaji pemain. Pembayaran gaji yang dilakukan tidak pernah tuntas dan selalu meninggalkan jejak hutang gaji sebelumnya. Hengkangnya Pierre Njanka setelah pertandingan melawan Persija Jakarta pada 9 Januari 2011 lalu seharusnya dijadikan alat evaluasi bagi pengurus dan pengelola Arema. Dengan tunggakan gaji 3 bulan, pemain berhak untuk meninggalkan club tanpa kompensasi apapun. Namun, pada kenyataannya masalah tunggakan gaji ini masih juga berlanjut pada bulan-bulan berikutnya.
Hal ini menjadi kebingungan tersendiri bagi Aremania melihat bagaimana team dengan potensi seperti Arema Indonesia bisa berada dalam kondisi krisis keuangan terus menerus seperti ini. Sinyalemen dan statement pembayaran gaji seolah-olah hanya sebuah bualan terus menerus yang didengungkan oleh pengurus namun tak kunjung direalisasikan. Apakah memang benar tidak ada satupun sponsor dan investor yang berminat terhadap Arema Indonesia? Ataukah ada hal-hal lain yang menghalangi masuknya Investor ataupun Sponsorship ke tubuh team kebanggaan Aremania ini?
Kabar akan masuknya Bakrie sebagai Investor baru Arema Indonesia beberapa saat yang lalu sempat meramaikan media. Berbagai tanggapan pro dan kontra baik dari kalangan Aremania sampai dari pihak-pihak yang tidak punya kapasitaspun meluncur. Melihat dari kedekatannya secara emosional seperti yang pernah disampaikan melalui sebuah kultwit oleh @AremaniJogja beberapa hari yang lalu, bahwa sejak berdirinya Arema, Bakrie memang memiliki kedekatan dengan Arema. Peran serta Bakrie dalam mendukung Arema terutama dari segi pendanaan bukan hanya kali ini saja, namun sudah berlangsung sejak berdirinya Arema pada 1987. Bahkan, pada musim ini, Bakrie Group juga masuk sebagai Sponsor Arema melalui 2 anak perusahaannya yaitu Ijen Nirwana dan Surabaya Post yang logonya melekat di Jersey pemain Arema Indonesia. Kegilaannya terhadap Sepakbola memang bukan barang baru bagi masyarakat sepakbola di Indonesia, pembelian beberapa club di luar negeri menjadi pertanda akan hal ini. Belum lagi kepemilikannya terhadap Pelita Jaya yang sudah berlangsung sejak masa kompetisi Galatama. Secara prestasi, Pelita Jaya memang tidak prestisius seperti club-club besar lainnya, juga tidak Royal dalam membelanjakan pemain. Namun, munculnya pemain-pemain muda berbakat secara terus menerus menjadi satu indikasi bahwa ada proses pembinaan dan pelatihan yang berjalan.
Setelah 1-2 Minggu yang lalu kabar akan masuknya Bakrie sebagai investor Arema sempat meramaikan media, bahkan dikatakan prosesnya sudah mencapai 95% deal seolah-olah termentahkan ketika tadi malam, para pemain berkumpul di Kota batu untuk menerima pembayaran 3 bulan gaji yang tertunda. Disebutkan, sumber pembayaran gaji ini berasal dari para pengusaha Malang baik yang berada di Malang maupun di luar Malang yang peduli terhadap Arema. Yang menarik lagi, duo Nur ( Ketua Yayasan M. Nur dan Direktur Bisnis Siti Nurjannah) hadir pada acara tersebut dan seolah-olah memiliki peranan penting. Duo Nur yang selama sembilan bulan terakhir ini seolah-olah hilang ditelan bumi ketika para pemain menagih janji, akan tetapi cukup lantang berada di Barisan Kelompok 78 pada Kongres PSSI tiba-tiba saja hadir dan berperan dalam terlunasinya gaji pemain.
Wal hasil, pembayaran gaji pemainpun berbuntut panjang. Malam dibayar, paginya pengawas Yayasan Bambang Winarno yang juga Dosen FH Unibraw mengeluarkan pernyataan. Di dampingi Pelaksana Harian Abriadi Muhara dan Putra pendiri Arema (Alm. Acub Zainal) Sam Ikul, menyampaikan usulan pemecatan terhadap ketua Yayasan Arema M. Nur. Usulan ini untuk ditindaklanjuti oleh Pembina Yayasan Rendra Kresna. Hal ini menjadikan pertanyaan baru bagi Aremania, ada apakah sebenarnya dibalik ini semua. Asisten Pelatih Tony Ho dalam akun facebooknya bahkan menyatakan “LOYALITAS DIUJI OLEH SEGEPOK UANG PLASTIK BERWARNA MERAH” , bahkan dalam salah satu komentarnya dia menyampaikan lagi bahwa “MANUSIA BUTUH UANG,TP UANG BUKANLAH SE GALA2NYA APABILA INGIN MENGHIANATI PERSAUDARAAN, CUIH” .
Sejuta pesona Arema Indonesia benar-benar memabukkan. Banyak pihak yang berminat terhadap Arema Indonesia seharusnya membuat nilai tawar Arema semakin tinggi. Mudah-mudahan dugaan kami bahwa ada pihak-pihak yang mencoba mencari keuntungan atau memiliki kepentingan sendiri terhadap masuknya investor adalah hal yang salah. Mudah-mudahan hanya belum ketemu deal mekanisme yang tepat. Semoga saja, Sejuta Pesona Arema Indonesia akan mendatangkan Sejuta Sponsor dan Investor. (lek).
posted on : http://olahraga.kompasiana.com/bola/2011/06/14/sejuta-pesona-arema-indonesia/
Suporter dan Sepakbola
AREMA INDONESIA
Keberadaan Suporter tidak akan bisa dipisahkan dari Club Sepakbola. Dalam berbagai tingkatannya Club Sepakbola apakah itu ditingkatan kampung, instansi, komunitas, Kota, Negara, ataupun kelompok masyarakat yang lain selalu memiliki pendukung atau suporter seberapapun kecilnya. Dukungan dari luar lapangan oleh suporter ini memberikan tambahan semangat bagi 11 orang pemain yang berlaga di atas rumput untuk mencetak goal sebanyak-banyaknya dan menjaga gawangnya agar seminimal mungkin kemasukan bola.
Suatu hal yang menarik bahwa di Indonesia, dukungan besar terhadap sebuah team olahraga hanya terdapat pada olahraga Sepakbola, dan bukan hanya sebatas dukungan dari tribun stadion, namun kebanggaan terhadap club yang dibelanya sudah membentuk fanatisme bahkan di beberapa daerah sudah membentuk sub kulter tersendiri. Lihat saja bagaimana di daerah Malang Raya (Kotamadya Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu) tempat domisili sebagian besar Aremania (pendukung Club Arema Indonesia), Arema sudah menjadi sub kultur tersendiri. Hal ini diperluas di berbagai daerah dimana para migran asal daerah ini berdomisili, dimana pada masing-masing wilayah yang ditinggali mereka akan membentuk komunitas Aremania tersendiri di kawasannya, yang memberikan dukungan dari jauh kepada team yang dipujanya, juga memberikan dukungan kepada team Arema Indonesia ketika berlaga di wilayahnya atau wilayah yang berdekatan dengan wilayahnya, sehingga adanya slogan Arema tidak kemana-mana ada dimana-mana pun menjadi slogan yang tidak asing lagi.
Jargon loyalitas tanpa batas, gelar suporter terbaik yang pernah diberikan kepada Aremania, dan adanya kesadaran tinggi untuk menjunjung tinggi sportifitas dalam membela clubnya menimbulkan applause tersendiri bagi masyarakat asli yang berdomisili dimana para migran dari Malang Raya membentuk komunitas Aremania. Dan pada kelanjutannya, sebagian dari komunitas masyarakat lokal yang notabene kebanyakan adalah pendukung team lokal beralih mendukung Arema Indonesia dan memproklamirkan diri menjadi seorang Aremania.
Besarnya dukungan Aremania di pelosok tanah air, dan bahkan hingga di luar negeri sayangnya berbanding terbalik dengan kondisi finansial dan manajerial di Arema Indonesia. Sejak berdiri pada tahun 1987 hampir setiap tahun kendala yang sama selalu menghantui team Arema Indonesia (dulu Arema Malang). Dukungan fanatik puluhan ribu Suporter yang kerap membeli tiket dan memenuhi Stadion tempat Arema berlaga nampaknya masih belum mampu memutar roda kehidupan Team secara Maksimal. Biaya pertandingan away, gaji dan kontrak pemain, pelatih dan pegawai, serta biaya operasional lainnya masih belum tertutup oleh pemasukan dari segi tiket dan besaran sponsorship yang masuk. Pemasukan dari sektor merchandise pun nampaknya juga masih belum mampu di optimalkan bukan hanya oleh Arema Indonesia, tapi juga oleh banyak club di Indonesia. Padahal, diluar negeri pemasukan dari sektor merchandise ini menjadi salah satu andalan pemasukan club.
Jumlah puluhan ribu yang kerap hadir memberikan dukungan langsung dan juga masih banyak lagi yang tidak tertampung di Stadion serta yang masih tersebar di luar kota adalah potensi yang luar biasa bagi pengembangan bisnis club. Sektor andalan merchandise adalah kontribusi yang bisa menjadi pemasukan andalan bagi club. Namun, maraknya produksi merchandise baik itu kaos, syal ataupun yang lain menjadi faktor lain yang juga harus diperhatikan oleh pihak manajemen club, putaran ekonomi masyarakat lokal yang cukup besar karena keberadaan club adalah dampak positif yang tidak bisa ditinggalkan, sehingga mau tidak mau, dari segi merchandise, club harus memikirkan ulang strategi yang digunakan agar perekonomian sebagian masyarakat yang ikut berputar dari merchandise club tidak terabaikan.
Hal lain yang bisa dioptimalkan dan sudah berjalan di beberapa negara sepakbola besar adalah konsep kepemilikan club oleh suporter. Berdasarkan konsep keanggotaan sebagaimana yang diterapkan di Barcelona FC besarnya dukungan Aremania di seluruh Indonesia dan beberapa negara lain menjadi potensi yang luar biasa untuk menjaga kesinambungan club. Dengan beranggotakan 170.000 socios Barcelona FC muncul menjadi kekuatan raksasa di dunia sepakbola. Bukan hanya dari segi prestasi, tapi Barcelona FC juga menjadi salah satu club terkaya di dunia. Barcelona berada diperingkat kedua club terkaya dengan kekayaan 398,1 Juta Euro atau sekitar Rp. 4,831 Trilliun dibawah Real Madrid dengan kekayaan 438,6 Juta Euro atau sekitar Rp 5,322 Trilliun. Uniknya Real Madrid juga club dengan basis keanggotaan dengan 100.000 socios.
Seorang socios pada club Barcelona FC berkewajiban untuk memberikan iuran sebesar 170 euro setiap tahunnya. Sebagai gambaran kapasitas stadion Home Barcelona FC Nou Camp adalah sebesar sekitar 98.000 dengan harga tiket setiap pertandingan reguler liganya sekitar 50-80 euro. Dengan perbandingan tersebut, jika Stadion Kanjuruhan (Home Arema) memiliki kapasitas sekitar 30.000 orang dan harga tiket Rp. 25.000,- maka asumsi untuk Arema Indonesia adalah sekitar 60.000 orang anggota dengan iuran sekitar Rp. 225.000,- pertahun. Dengan angka UMR Kota Malang diatas Rp.900.000 artinya untuk menyisihkan Rp. 18.750 perbulan untuk mencapai Rp.225.000 pertahun adalah angka yang cukup realistis bagi sebagaian besar masyarakat kota Malang.
Dengan mengumpulkan Rp.225.000 dari 60.000 anggota akan terkumpul senilai Rp. 13,5 M. Jumlah yang cukup besar untuk memulai kompetisi disamping potensi pemasukan lain dari tiket yang jika melihat dari musim sebelumnya mencapai kisaran sekitar Rp. 4 M dan ditambah pemasukan dari sponsorship serta pengelolaan merchandise yang baik akan dapat untuk menutup biaya operasional club untuk satu musim kompetisi.
Besaran 60.000 anggota perkumpulan pemilik club juga akan membuka potensi bisnis yang luar biasa serta tawaran menggiurkan bagi investor. Hak untuk memperoleh informasi pertama terkait dengan club yang disosialisasikan secara rutin baik melalui pesan singkat, email, ataupun media cetak yang memiliki pelanggan pasti 60.000 orang akan menjadi tawaran yang menggiurkan bagi sponsorship, belum lagi pengelolaan keuangan, ticketting, dan faktor finansial lainnya menjadikan potensi bagi manajemen club untuk menggandeng pihak perbankan.
Pengelolaan yang profesional, pengawasan terhadap pengelolaan oleh suporter akan meningkatkan kinerja Manejemen Club menjadi lebih baik. Investasi besar yang berasal dari luar juga sangat mungkin untuk diundang dalam meningkatkan asset club. Pembangunan Stadion yang terpadu dengan aktivitas masyarakat terkait dengan sepakbola seperti museum, taman bermain, pasar (plaza) atribut, dll menjadi potensi yang sangat besar dan mampu menciptakan pemberdayaan masyarakat terutama di sekitar stadion.
Dan pada akhirnya, satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah komunikasi yang baik dan kesinambungan antara Club dengan Suporter menjadi satu hal yang juga patut untuk dipertimbangkan pada terwujudnya konsep ini, terutama pada Arema Indonesia.
(Makalah ini disajikan pada Dialog Terbuka Kepemilikan Club Berbasis Suporter yang diselenggarakan oleh PP OTODA FH – UB bekerjasama dengan Satubola.)
Keberadaan Suporter tidak akan bisa dipisahkan dari Club Sepakbola. Dalam berbagai tingkatannya Club Sepakbola apakah itu ditingkatan kampung, instansi, komunitas, Kota, Negara, ataupun kelompok masyarakat yang lain selalu memiliki pendukung atau suporter seberapapun kecilnya. Dukungan dari luar lapangan oleh suporter ini memberikan tambahan semangat bagi 11 orang pemain yang berlaga di atas rumput untuk mencetak goal sebanyak-banyaknya dan menjaga gawangnya agar seminimal mungkin kemasukan bola.
Suatu hal yang menarik bahwa di Indonesia, dukungan besar terhadap sebuah team olahraga hanya terdapat pada olahraga Sepakbola, dan bukan hanya sebatas dukungan dari tribun stadion, namun kebanggaan terhadap club yang dibelanya sudah membentuk fanatisme bahkan di beberapa daerah sudah membentuk sub kulter tersendiri. Lihat saja bagaimana di daerah Malang Raya (Kotamadya Malang, Kabupaten Malang dan Kota Batu) tempat domisili sebagian besar Aremania (pendukung Club Arema Indonesia), Arema sudah menjadi sub kultur tersendiri. Hal ini diperluas di berbagai daerah dimana para migran asal daerah ini berdomisili, dimana pada masing-masing wilayah yang ditinggali mereka akan membentuk komunitas Aremania tersendiri di kawasannya, yang memberikan dukungan dari jauh kepada team yang dipujanya, juga memberikan dukungan kepada team Arema Indonesia ketika berlaga di wilayahnya atau wilayah yang berdekatan dengan wilayahnya, sehingga adanya slogan Arema tidak kemana-mana ada dimana-mana pun menjadi slogan yang tidak asing lagi.
Jargon loyalitas tanpa batas, gelar suporter terbaik yang pernah diberikan kepada Aremania, dan adanya kesadaran tinggi untuk menjunjung tinggi sportifitas dalam membela clubnya menimbulkan applause tersendiri bagi masyarakat asli yang berdomisili dimana para migran dari Malang Raya membentuk komunitas Aremania. Dan pada kelanjutannya, sebagian dari komunitas masyarakat lokal yang notabene kebanyakan adalah pendukung team lokal beralih mendukung Arema Indonesia dan memproklamirkan diri menjadi seorang Aremania.
Besarnya dukungan Aremania di pelosok tanah air, dan bahkan hingga di luar negeri sayangnya berbanding terbalik dengan kondisi finansial dan manajerial di Arema Indonesia. Sejak berdiri pada tahun 1987 hampir setiap tahun kendala yang sama selalu menghantui team Arema Indonesia (dulu Arema Malang). Dukungan fanatik puluhan ribu Suporter yang kerap membeli tiket dan memenuhi Stadion tempat Arema berlaga nampaknya masih belum mampu memutar roda kehidupan Team secara Maksimal. Biaya pertandingan away, gaji dan kontrak pemain, pelatih dan pegawai, serta biaya operasional lainnya masih belum tertutup oleh pemasukan dari segi tiket dan besaran sponsorship yang masuk. Pemasukan dari sektor merchandise pun nampaknya juga masih belum mampu di optimalkan bukan hanya oleh Arema Indonesia, tapi juga oleh banyak club di Indonesia. Padahal, diluar negeri pemasukan dari sektor merchandise ini menjadi salah satu andalan pemasukan club.
Jumlah puluhan ribu yang kerap hadir memberikan dukungan langsung dan juga masih banyak lagi yang tidak tertampung di Stadion serta yang masih tersebar di luar kota adalah potensi yang luar biasa bagi pengembangan bisnis club. Sektor andalan merchandise adalah kontribusi yang bisa menjadi pemasukan andalan bagi club. Namun, maraknya produksi merchandise baik itu kaos, syal ataupun yang lain menjadi faktor lain yang juga harus diperhatikan oleh pihak manajemen club, putaran ekonomi masyarakat lokal yang cukup besar karena keberadaan club adalah dampak positif yang tidak bisa ditinggalkan, sehingga mau tidak mau, dari segi merchandise, club harus memikirkan ulang strategi yang digunakan agar perekonomian sebagian masyarakat yang ikut berputar dari merchandise club tidak terabaikan.
Hal lain yang bisa dioptimalkan dan sudah berjalan di beberapa negara sepakbola besar adalah konsep kepemilikan club oleh suporter. Berdasarkan konsep keanggotaan sebagaimana yang diterapkan di Barcelona FC besarnya dukungan Aremania di seluruh Indonesia dan beberapa negara lain menjadi potensi yang luar biasa untuk menjaga kesinambungan club. Dengan beranggotakan 170.000 socios Barcelona FC muncul menjadi kekuatan raksasa di dunia sepakbola. Bukan hanya dari segi prestasi, tapi Barcelona FC juga menjadi salah satu club terkaya di dunia. Barcelona berada diperingkat kedua club terkaya dengan kekayaan 398,1 Juta Euro atau sekitar Rp. 4,831 Trilliun dibawah Real Madrid dengan kekayaan 438,6 Juta Euro atau sekitar Rp 5,322 Trilliun. Uniknya Real Madrid juga club dengan basis keanggotaan dengan 100.000 socios.
Seorang socios pada club Barcelona FC berkewajiban untuk memberikan iuran sebesar 170 euro setiap tahunnya. Sebagai gambaran kapasitas stadion Home Barcelona FC Nou Camp adalah sebesar sekitar 98.000 dengan harga tiket setiap pertandingan reguler liganya sekitar 50-80 euro. Dengan perbandingan tersebut, jika Stadion Kanjuruhan (Home Arema) memiliki kapasitas sekitar 30.000 orang dan harga tiket Rp. 25.000,- maka asumsi untuk Arema Indonesia adalah sekitar 60.000 orang anggota dengan iuran sekitar Rp. 225.000,- pertahun. Dengan angka UMR Kota Malang diatas Rp.900.000 artinya untuk menyisihkan Rp. 18.750 perbulan untuk mencapai Rp.225.000 pertahun adalah angka yang cukup realistis bagi sebagaian besar masyarakat kota Malang.
Dengan mengumpulkan Rp.225.000 dari 60.000 anggota akan terkumpul senilai Rp. 13,5 M. Jumlah yang cukup besar untuk memulai kompetisi disamping potensi pemasukan lain dari tiket yang jika melihat dari musim sebelumnya mencapai kisaran sekitar Rp. 4 M dan ditambah pemasukan dari sponsorship serta pengelolaan merchandise yang baik akan dapat untuk menutup biaya operasional club untuk satu musim kompetisi.
Besaran 60.000 anggota perkumpulan pemilik club juga akan membuka potensi bisnis yang luar biasa serta tawaran menggiurkan bagi investor. Hak untuk memperoleh informasi pertama terkait dengan club yang disosialisasikan secara rutin baik melalui pesan singkat, email, ataupun media cetak yang memiliki pelanggan pasti 60.000 orang akan menjadi tawaran yang menggiurkan bagi sponsorship, belum lagi pengelolaan keuangan, ticketting, dan faktor finansial lainnya menjadikan potensi bagi manajemen club untuk menggandeng pihak perbankan.
Pengelolaan yang profesional, pengawasan terhadap pengelolaan oleh suporter akan meningkatkan kinerja Manejemen Club menjadi lebih baik. Investasi besar yang berasal dari luar juga sangat mungkin untuk diundang dalam meningkatkan asset club. Pembangunan Stadion yang terpadu dengan aktivitas masyarakat terkait dengan sepakbola seperti museum, taman bermain, pasar (plaza) atribut, dll menjadi potensi yang sangat besar dan mampu menciptakan pemberdayaan masyarakat terutama di sekitar stadion.
Dan pada akhirnya, satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah komunikasi yang baik dan kesinambungan antara Club dengan Suporter menjadi satu hal yang juga patut untuk dipertimbangkan pada terwujudnya konsep ini, terutama pada Arema Indonesia.
(Makalah ini disajikan pada Dialog Terbuka Kepemilikan Club Berbasis Suporter yang diselenggarakan oleh PP OTODA FH – UB bekerjasama dengan Satubola.)
Membranding Aremania, mungkinkah?
Dalam dunia industri olahraga, terutama sepakbola. Disamping sebagai pemain ke-12 yang secara non-teknis memberikan dukungan dari tepi lapangan, tidak dapat dipungkiri faktor suporter memegang peranan penting. Penggemar fanatik club ini menjadi pasar yang potensial bagi berjalannya industri Sepakbola. Bahkan ketika sebuah sponsorship masuk untuk kedalam sebuah club sepakbola, faktor dukungan dan besaran suporter menjadi salah satu pertimbangan.
Selama ini Logo Sponsor hanya melekat pada Jersey Pemain (Pict : http://j.mp/jT1kzT)
Selama ini, pihak sponsorship tentunya juga mempertimbangkan besaran dan dukungan suporter dalam memberikan sponsor kepada sebuah club. Dalam dunia marketing hal ini tentunya wajar karena terkait dengan seberapa luas branding produk sponsor akan tersebar. Semakin besar dan luas jangkauan suporter sebuah club tentunya branding produk juga akan semakin tersebar luas.
Memang tidak ada jaminan peningkatan penjualan produk tersebut, sebagaimana jika sebuah produsen memasang iklan di layar televisi yang berbeda rate-nya antara jam primetime dengan jam tengah malam misalnya, juga tidak ada jaminan akan terjadi peningkatan penjualan produk yang signifikan jika memasang iklan pada jam primetime yang harganya jauh lebih mahal dibanding pada acara biasa ditengah malam. Namun ekspektasi dengan semakin banyak disaksikan oleh pemirsa, branding produk akan semakin tersebar luas.
Memasang branding atau memberikan sponsor pada sebuah club sepakbola tentunya berbeda dengan memasang iklan pada media cetak/elektronik. Memasang iklan pada media cetak/elektronik bisa diibaratkan hanya sebatas memiliki fungsi publikasi dan sosialisasi bahwa sebuah produk ada dan memiliki keunggulan dibanding produk sejenis lainnya. Sebuah club sepakbola seperti Arema Indonesia menggantungkan keberlangsungannya pada banyak sektor, termasuk diantaranya sektor bisnis dan sponsorship. Ikatan emosional yang kuat antara Arema dengan Aremania tidak hanya sekedar menyebarkan branding sponsor Arema kepada Aremania saja, tapi adanya kesadaran Aremania bahwa pihak sponsor turut menjaga keberlangsungan nafas Arema Indonesia, club yang dicintai akan membentuk image dan opini positif, bahkan kecintaan bagi Aremania terhadap sponsor Arema. Hal ini akan menimbulkan dampak peningkatan secara signifikan penggunaan produk sponsor di kalangan Aremania.
Selama ini, pemasangan logo sponsor hanya terbatas pada jersey yang digunakan pemain dan event-event yang diadakan oleh club dan manajemennya. Secara fisik kemampuan pandang suporter atau penonton di dalam stadion memiliki keterbatasan untuk bisa menyaksikan secara detail logo apa saja yang terpampang pada jersey pemain. Jika pemasangan dilakukan pada A-Board yang mengelilingi lapangan pertandingan, keterbatasan dari berbagai sisi yang berbeda juga akan mengurangi jumlah penonton yang menyimak logo produk tersebut, disamping fokus dan perhatian utama adalah pada bola dan lapangan pertandingan, bukan pada sekitarnya.
Salah satu kaos yg Biasa digunakan Aremania ke Stadion. Masih ada ruang untuk Sponsor. (Pic : http://j.mp/l58Ag4)
Berbeda halnya jika logo sponsor dipasang pada kaos yang digunakan Aremania untuk mendukung Arema. Sudah pasti logo sponsor akan disaksikan secara langsung oleh Suporter yang hadir di Stadion, belum lagi pemirsa yang menyaksikan siarang langsung dari televisi, masih ditambah lagi masyarakat yang melihat suporter pulang dan pergi menuju Stadion, dan tentunya juga keluarga dan orang-orang yang tinggal dilingkungan pemakai kaos tinggal.
Secara hitung2an kasar, Jika satu Kaos bersponsor yang digunakan oleh Aremania dilihat oleh 10 orang yang dilewati dalam perjalanan ke stadion, kemudian di dalam stadion dilihat oleh 3 orang disekelilingnya, selanjutnya dirumahnya dia memiliki 5 orang keluarga, dan ketika mengenakan diluar pertandingan dia berkumpul dengan 10 orang disekitar lingkungannya, maka didapatkan angka 10+3+5+10 = 28 orang penyebaran branding sponsor. Jika Kaos digunakan oleh 10.000 orang suporter saja dari kapasitas Stadion lebih dari 30.000 orang, sudah dicapai 280.000 orang. Belum lagi yang menyaksikan melalui siaran langsung dan ditambah lagi faktor emosional kecintaan Aremania terhadap Arema.
Secara nilai ekonomi, tentunya opsi terakhir dengan memasang logo pada kaos yang digunakan Aremania memiliki nilai ekonomi yang lebih besar bagi produsen. Efek branding akan tersebar secara lebih luas dan lebih melekat pada Aremania. Pertanyaannya adalah apakah Aremania bersedia meluangkan bagian tubuhnya untuk mengenakan kaos bersponsor demi Arema? (lek)
posted on : http://aremasenayan.com/2011/05/07/mem-branding-aremania-mungkinkah.php?preview=true&preview_id=2773&preview_nonce=f00e2e3fd3
Selama ini Logo Sponsor hanya melekat pada Jersey Pemain (Pict : http://j.mp/jT1kzT)
Selama ini, pihak sponsorship tentunya juga mempertimbangkan besaran dan dukungan suporter dalam memberikan sponsor kepada sebuah club. Dalam dunia marketing hal ini tentunya wajar karena terkait dengan seberapa luas branding produk sponsor akan tersebar. Semakin besar dan luas jangkauan suporter sebuah club tentunya branding produk juga akan semakin tersebar luas.
Memang tidak ada jaminan peningkatan penjualan produk tersebut, sebagaimana jika sebuah produsen memasang iklan di layar televisi yang berbeda rate-nya antara jam primetime dengan jam tengah malam misalnya, juga tidak ada jaminan akan terjadi peningkatan penjualan produk yang signifikan jika memasang iklan pada jam primetime yang harganya jauh lebih mahal dibanding pada acara biasa ditengah malam. Namun ekspektasi dengan semakin banyak disaksikan oleh pemirsa, branding produk akan semakin tersebar luas.
Memasang branding atau memberikan sponsor pada sebuah club sepakbola tentunya berbeda dengan memasang iklan pada media cetak/elektronik. Memasang iklan pada media cetak/elektronik bisa diibaratkan hanya sebatas memiliki fungsi publikasi dan sosialisasi bahwa sebuah produk ada dan memiliki keunggulan dibanding produk sejenis lainnya. Sebuah club sepakbola seperti Arema Indonesia menggantungkan keberlangsungannya pada banyak sektor, termasuk diantaranya sektor bisnis dan sponsorship. Ikatan emosional yang kuat antara Arema dengan Aremania tidak hanya sekedar menyebarkan branding sponsor Arema kepada Aremania saja, tapi adanya kesadaran Aremania bahwa pihak sponsor turut menjaga keberlangsungan nafas Arema Indonesia, club yang dicintai akan membentuk image dan opini positif, bahkan kecintaan bagi Aremania terhadap sponsor Arema. Hal ini akan menimbulkan dampak peningkatan secara signifikan penggunaan produk sponsor di kalangan Aremania.
Selama ini, pemasangan logo sponsor hanya terbatas pada jersey yang digunakan pemain dan event-event yang diadakan oleh club dan manajemennya. Secara fisik kemampuan pandang suporter atau penonton di dalam stadion memiliki keterbatasan untuk bisa menyaksikan secara detail logo apa saja yang terpampang pada jersey pemain. Jika pemasangan dilakukan pada A-Board yang mengelilingi lapangan pertandingan, keterbatasan dari berbagai sisi yang berbeda juga akan mengurangi jumlah penonton yang menyimak logo produk tersebut, disamping fokus dan perhatian utama adalah pada bola dan lapangan pertandingan, bukan pada sekitarnya.
Salah satu kaos yg Biasa digunakan Aremania ke Stadion. Masih ada ruang untuk Sponsor. (Pic : http://j.mp/l58Ag4)
Berbeda halnya jika logo sponsor dipasang pada kaos yang digunakan Aremania untuk mendukung Arema. Sudah pasti logo sponsor akan disaksikan secara langsung oleh Suporter yang hadir di Stadion, belum lagi pemirsa yang menyaksikan siarang langsung dari televisi, masih ditambah lagi masyarakat yang melihat suporter pulang dan pergi menuju Stadion, dan tentunya juga keluarga dan orang-orang yang tinggal dilingkungan pemakai kaos tinggal.
Secara hitung2an kasar, Jika satu Kaos bersponsor yang digunakan oleh Aremania dilihat oleh 10 orang yang dilewati dalam perjalanan ke stadion, kemudian di dalam stadion dilihat oleh 3 orang disekelilingnya, selanjutnya dirumahnya dia memiliki 5 orang keluarga, dan ketika mengenakan diluar pertandingan dia berkumpul dengan 10 orang disekitar lingkungannya, maka didapatkan angka 10+3+5+10 = 28 orang penyebaran branding sponsor. Jika Kaos digunakan oleh 10.000 orang suporter saja dari kapasitas Stadion lebih dari 30.000 orang, sudah dicapai 280.000 orang. Belum lagi yang menyaksikan melalui siaran langsung dan ditambah lagi faktor emosional kecintaan Aremania terhadap Arema.
Secara nilai ekonomi, tentunya opsi terakhir dengan memasang logo pada kaos yang digunakan Aremania memiliki nilai ekonomi yang lebih besar bagi produsen. Efek branding akan tersebar secara lebih luas dan lebih melekat pada Aremania. Pertanyaannya adalah apakah Aremania bersedia meluangkan bagian tubuhnya untuk mengenakan kaos bersponsor demi Arema? (lek)
posted on : http://aremasenayan.com/2011/05/07/mem-branding-aremania-mungkinkah.php?preview=true&preview_id=2773&preview_nonce=f00e2e3fd3
Universalitas Aremania
Kreafitias Aremania (sumbergambar : Lintas jatim)
Nek tail arema dan aremania kita seperti melihat miniatur bangsa Indonesia. Ono sing asli Malang yang bangga dengan identitasnya, ono sing pendatang yang ikut bangga dengan lingkungannya. Ono malah sing kadit osi ngomong owoj tapi gak pernah absen ke stadion setiap arema Niam. Di luar Malang, bahkan ada yang tidak pernah sekalipun menginjakkan kakinya di Malang, namun bangga beridentitas sebagai Aremania. Mereka semua bangga dengan identitas dan atribut yang mereka gunakan. Mereka semua mencintai satu hal yang sama. Mereka semua bersatu karena satu alasan.
Hari ini aremania sudah menjadi komunitas nasional. Kera-kera Ngalam sudah menyebar dari sabang sampai merauke. Dari Aceh sampai Papua. Nawak-nawak yang ada dimanapun, mari kita tularkan Jiwa dan Semangat Aremania dilingkungan kita masing-masing
Yang terlihat disini Arema dan Aremania adalah miniatur dari Indonesia. Seandainya saja warga republik ini memiliki jiwa dan semangat seperti aremania untuk satu Indonesia. Niscaya tidak akan pernah terjadi konflik-konflik yang dengan isu sara yang pernah terjadi di beberapa daerah. Seandainya saja masyarakat republik ini memiliki kedewasaan seperti arema dan aremania, toleransi seperti arema dan aremania, tidak akan pernah ada tawuran suporter.
Beberapa saat yang lalu hingga saat ini, Arema Indonesia seolah menjadi bahan pembicaraan yang tidak ada habisnya. Prestasi Arema Indonesia yang relatif stabil menghuni papan atas klasemen Liga Indonesia sejak musim lalu, di satu sisi menjadi kebanggaan bagi kita semua, dan hal ini berdampak dengan semakin diminatinya setiap pertandingan Arema Indonesia dimanapun berlaga, bahkan pertandingan tandang di beberapa daerah adalah pertandingan dengan rekor penonton terbanyak untuk team lawan.
Disisi lain, kontribusi suporter (Aremania) yang luar biasa, menjadi pangsa pasar tersendiri bagi perekonomian kota Malang (sayang masih belum berimbas banyak ke sponsor). Penjualan segala macam atribut yang terkait dengan Arema Indonesia meningkat drastis, omzet penjual mulai kaos, stiker, mulai yang di jual ritel di pinggir jalan, pasar, distro, kios, bedak, sampai yang di jual online seolah tak pernah lelah menguras kantung pembeli.
Namun, beberapa berita miring sempat menerjang team kebanggaan Aremania ini. Lihat saja beberapa bulan yang lalu ketika majalah tempo melibatkan Arema Indonesia dalam catatan investigasinya mengenai KoruPPSSI kontan menimbulkan reaksi negatif dari berbagai pihak, terlepas investigasi tersebut terdapat beberapa kesalahan data dan ternyata juga tidak melakukan konfirmasi dan klarifikasi kepada beberapa pihak yang berkompeten seperti manajemen Arema Indonesia, sehingga menyebabkan validitas investigasi secara keseluruhan dipertanyakan.
Dampak dari pemberitaan tersebut adalah banyak pihak menganggap Aremania adalah kelompok yang antipati terhadap perubahan yang saat ini sedang didengungkan ditubuh PSSI, meskipun di hampir setiap kesempatan Aremania selalu hadir. Beberapa penolakan yang dilakukan Aremania adalah penolakan terhadap keberpihakan kepada beberapa orang yang terang-terang memiliki ambisi lebih dalam menyuarakan perubahan. Bagi Aremania gerakan Revolusi PSSI adalah gerakan Moral, dan ketika gerakan Moral berubah menjadi gerakan politik untuk kepentingan tertentu, apakah secara moral kita masih harus terlibat didalam gerakan tersebut?.
Menengok Aremania sendiri, di Malang Raya, jauh sebelum musim ISL 2010/2011, Arema dan Aremania telah menjadi subkultur tersendiri bagi masyarakat Malang Raya. Nama team "Arema" yang di artikan sebagai "Arek Malang" telah menjadi identitas bagi masyarakat Malang Raya dimanapun berada. Terlebih lagi dengan bahasa pergaulan yang mereka miliki dan identik atau di kenal dengan boso walikan, seolah mempertegas identitas ini. Namun jika kita tengok lebih dalam lagi, apakah Aremania ini hanya identik dengan masyarakat Malang Raya? ternyata tidak, selain masyarakat asli dari Malang Raya, simpatisan Arema atau yang menyebut dirinya dengan Aremania/ta tidak hanya berasal dari warga asli Malang Raya ataupun keturunan Malang. Banyak kita melihat beberapa orang yang notabene bukan orang Malang, dan bahkan belum pernah ke Malang, adalah Aremania/ta. Suatu fenomena yang unik tentunya, jika Hotman Siahaan, seorang sosiolog Universitas Airlangga yang mengatakan bahwa kultur sepakbola di Indonesia berangkat dari primordialisme (http://beritajatim.com/detailnews.php/5/Olahraga/2010-03-28/60111/Sepakbola_Indonesia_Gamang). Sedangkan dalam pranala Wikipedia secara terminologi dan etimologi memaknai Primordialisme sebagai berikut :
Primordialisme adalah sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya.
Etimologi
Primordialisme berasal dari kata bahasa Latin primus yang artinya pertama dan ordiri yang artinya tenunan atau ikatan.
Ikatan seseorang pada kelompok yang pertama dengan segala nilai yang diperolehnya melalui sosialisasi akan berperan dalam membentuk sikap primordial. Di satu sisi, sikap primordial memiliki fungsi untuk melestarikan budaya kelompoknya. Namun, di sisi lain sikap ini dapat membuat individu atau kelompok memiliki sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya orang lain. Mereka akan selalu memandang budaya orang lain dari kacamata budayanya. Hal ini terjadi karena nilai-nilai yang telah tersosialisasi sejak kecil sudah menjadi nilai yang mendarah daging (internalized value) dan sangatlah susah untuk berubah dan cenderung dipertahankan bila nilai itu sangat menguntungkan bagi dirinya. Terdapat 2 jenis etnosentris yaitu: 1. etnosentris infleksibel yakni suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya atau tingkah laku orang lain, 2. Etnosentris fleksibel yakni suatu sikap yang cenderung menilai tingkah laku orang lain tidak hanya berdasarkan sudut pandang budaya sendiri tetapi juga sudut pandang budaya lain. Tidak selamanya primordial merupakan tindakan salah. Akan tetapi bisa disaja dinilai sebagai sesuatu yang mesti dipertahankan. Dalam sudut pandang ajaran (ritual) misalnya. Perilaku primordialisne merupakan unsur terpenting, saat memberlakukan ajaran intinya.
Melihat pemaknaan diatas, Primordialisme memiliki kecenderungan untuk membentuk sebuah kultur,dan lebih bersifat kedaerahan. Namun yang menjadi perhatian kita adalah, apa yang menjadi magnet bagi sebagian masyarakat dari luar Malang untuk menjadi Simpatisan klub asal kota Malang?
Ada beberapa hal yang dapat menjadi bahan analisa kita.
Kreatifitas Aremania. Dalam setiap laga kandang dan tandang, dimana Aremania selalu memberikan dukungan dalam bentuk atraksi yang menarik, nyanyian dan lagu2 yang memberikan semangat dan menghibur, tarian yang atraktif.
Sportifitas Aremania. Kalah dan menang adalah bagian dari permainan, dan setiap kemenangan adalah kado terindah bagi Aremania, sedangkan kekalahan bukanlah menjadi alasan untuk membuat ulah dan kerusuhan seperti yang dilakukan beberapa kelompok suporter lain dan uniknya, media seolah-olah sangat hobi sekali untuk mengekspose hal hal semacam ini (kerusuhan suporter) dibanding persahabatan suporter.
Pesan Damai. Aremania selalu membuka tangan lebar-lebar bagi siapapun suporter team Tamu yang berkunjung ke Malang. Dan hal ini tentunya berbalas dengan sambutan meriah mereka jika Aremania berkunjung. Lambat laun, hal ini menjalin persahabatan yang semakin meluas, sehingga hampir di semua tempat di negeri ini, Aremania adalah sahabat yang baik. Mereka datang dengan damai, membeli tiket dengan tertib, dan pulang tanpa meninggalkan jejak kerusuhan.
Dan tentunya masih ada daftar yang lebih panjang untuk menjadi alasannya. Akan tetapi yang dapat kita lihat saat ini, bahwa Aremania tidak hanya mempersempit Indonesia dalam satu stadion Kanjuruhan saja, akan tetapi Aremania telah menerjemahkan arti sebenarnya dari Bhinneka Tunggal Ika. Di dalam stadion kita mendukung team yang berbeda, namun di luar stadion kita adalah saudara. Dan dari sini, dapat kita tarik bahwa lagu "Padamu Negeri" yang dinyanyikan di Kandang Singa setiap Arema akan berlaga tidak hanya menjadi lagu kosong yang hanya sekedar di nyanyikan, akan tetapi bentuk aktualisasinya telah dilakukan dalam pola pemikiran, pola laku, dan pola tindak.
Hari ini aremania sudah menjadi komunitas nasional. Kera-kera Ngalam sudah menyebar dari sabang sampai merauke. Dari Aceh sampai Papua. Nawak-nawak yang ada dimanapun, mari kita tularkan Jiwa dan Semangat Aremania dilingkungan kita masing-masing. (lek).
posted on : http://aremasenayan.com/2011/04/12/universalitas-aremania.php?preview=true&preview_id=2660&preview_nonce=c59b66c894
Nek tail arema dan aremania kita seperti melihat miniatur bangsa Indonesia. Ono sing asli Malang yang bangga dengan identitasnya, ono sing pendatang yang ikut bangga dengan lingkungannya. Ono malah sing kadit osi ngomong owoj tapi gak pernah absen ke stadion setiap arema Niam. Di luar Malang, bahkan ada yang tidak pernah sekalipun menginjakkan kakinya di Malang, namun bangga beridentitas sebagai Aremania. Mereka semua bangga dengan identitas dan atribut yang mereka gunakan. Mereka semua mencintai satu hal yang sama. Mereka semua bersatu karena satu alasan.
Hari ini aremania sudah menjadi komunitas nasional. Kera-kera Ngalam sudah menyebar dari sabang sampai merauke. Dari Aceh sampai Papua. Nawak-nawak yang ada dimanapun, mari kita tularkan Jiwa dan Semangat Aremania dilingkungan kita masing-masing
Yang terlihat disini Arema dan Aremania adalah miniatur dari Indonesia. Seandainya saja warga republik ini memiliki jiwa dan semangat seperti aremania untuk satu Indonesia. Niscaya tidak akan pernah terjadi konflik-konflik yang dengan isu sara yang pernah terjadi di beberapa daerah. Seandainya saja masyarakat republik ini memiliki kedewasaan seperti arema dan aremania, toleransi seperti arema dan aremania, tidak akan pernah ada tawuran suporter.
Beberapa saat yang lalu hingga saat ini, Arema Indonesia seolah menjadi bahan pembicaraan yang tidak ada habisnya. Prestasi Arema Indonesia yang relatif stabil menghuni papan atas klasemen Liga Indonesia sejak musim lalu, di satu sisi menjadi kebanggaan bagi kita semua, dan hal ini berdampak dengan semakin diminatinya setiap pertandingan Arema Indonesia dimanapun berlaga, bahkan pertandingan tandang di beberapa daerah adalah pertandingan dengan rekor penonton terbanyak untuk team lawan.
Disisi lain, kontribusi suporter (Aremania) yang luar biasa, menjadi pangsa pasar tersendiri bagi perekonomian kota Malang (sayang masih belum berimbas banyak ke sponsor). Penjualan segala macam atribut yang terkait dengan Arema Indonesia meningkat drastis, omzet penjual mulai kaos, stiker, mulai yang di jual ritel di pinggir jalan, pasar, distro, kios, bedak, sampai yang di jual online seolah tak pernah lelah menguras kantung pembeli.
Namun, beberapa berita miring sempat menerjang team kebanggaan Aremania ini. Lihat saja beberapa bulan yang lalu ketika majalah tempo melibatkan Arema Indonesia dalam catatan investigasinya mengenai KoruPPSSI kontan menimbulkan reaksi negatif dari berbagai pihak, terlepas investigasi tersebut terdapat beberapa kesalahan data dan ternyata juga tidak melakukan konfirmasi dan klarifikasi kepada beberapa pihak yang berkompeten seperti manajemen Arema Indonesia, sehingga menyebabkan validitas investigasi secara keseluruhan dipertanyakan.
Dampak dari pemberitaan tersebut adalah banyak pihak menganggap Aremania adalah kelompok yang antipati terhadap perubahan yang saat ini sedang didengungkan ditubuh PSSI, meskipun di hampir setiap kesempatan Aremania selalu hadir. Beberapa penolakan yang dilakukan Aremania adalah penolakan terhadap keberpihakan kepada beberapa orang yang terang-terang memiliki ambisi lebih dalam menyuarakan perubahan. Bagi Aremania gerakan Revolusi PSSI adalah gerakan Moral, dan ketika gerakan Moral berubah menjadi gerakan politik untuk kepentingan tertentu, apakah secara moral kita masih harus terlibat didalam gerakan tersebut?.
Menengok Aremania sendiri, di Malang Raya, jauh sebelum musim ISL 2010/2011, Arema dan Aremania telah menjadi subkultur tersendiri bagi masyarakat Malang Raya. Nama team "Arema" yang di artikan sebagai "Arek Malang" telah menjadi identitas bagi masyarakat Malang Raya dimanapun berada. Terlebih lagi dengan bahasa pergaulan yang mereka miliki dan identik atau di kenal dengan boso walikan, seolah mempertegas identitas ini. Namun jika kita tengok lebih dalam lagi, apakah Aremania ini hanya identik dengan masyarakat Malang Raya? ternyata tidak, selain masyarakat asli dari Malang Raya, simpatisan Arema atau yang menyebut dirinya dengan Aremania/ta tidak hanya berasal dari warga asli Malang Raya ataupun keturunan Malang. Banyak kita melihat beberapa orang yang notabene bukan orang Malang, dan bahkan belum pernah ke Malang, adalah Aremania/ta. Suatu fenomena yang unik tentunya, jika Hotman Siahaan, seorang sosiolog Universitas Airlangga yang mengatakan bahwa kultur sepakbola di Indonesia berangkat dari primordialisme (http://beritajatim.com/detailnews.php/5/Olahraga/2010-03-28/60111/Sepakbola_Indonesia_Gamang). Sedangkan dalam pranala Wikipedia secara terminologi dan etimologi memaknai Primordialisme sebagai berikut :
Primordialisme adalah sebuah pandangan atau paham yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik mengenai tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di dalam lingkungan pertamanya.
Etimologi
Primordialisme berasal dari kata bahasa Latin primus yang artinya pertama dan ordiri yang artinya tenunan atau ikatan.
Ikatan seseorang pada kelompok yang pertama dengan segala nilai yang diperolehnya melalui sosialisasi akan berperan dalam membentuk sikap primordial. Di satu sisi, sikap primordial memiliki fungsi untuk melestarikan budaya kelompoknya. Namun, di sisi lain sikap ini dapat membuat individu atau kelompok memiliki sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya orang lain. Mereka akan selalu memandang budaya orang lain dari kacamata budayanya. Hal ini terjadi karena nilai-nilai yang telah tersosialisasi sejak kecil sudah menjadi nilai yang mendarah daging (internalized value) dan sangatlah susah untuk berubah dan cenderung dipertahankan bila nilai itu sangat menguntungkan bagi dirinya. Terdapat 2 jenis etnosentris yaitu: 1. etnosentris infleksibel yakni suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya atau tingkah laku orang lain, 2. Etnosentris fleksibel yakni suatu sikap yang cenderung menilai tingkah laku orang lain tidak hanya berdasarkan sudut pandang budaya sendiri tetapi juga sudut pandang budaya lain. Tidak selamanya primordial merupakan tindakan salah. Akan tetapi bisa disaja dinilai sebagai sesuatu yang mesti dipertahankan. Dalam sudut pandang ajaran (ritual) misalnya. Perilaku primordialisne merupakan unsur terpenting, saat memberlakukan ajaran intinya.
Melihat pemaknaan diatas, Primordialisme memiliki kecenderungan untuk membentuk sebuah kultur,dan lebih bersifat kedaerahan. Namun yang menjadi perhatian kita adalah, apa yang menjadi magnet bagi sebagian masyarakat dari luar Malang untuk menjadi Simpatisan klub asal kota Malang?
Ada beberapa hal yang dapat menjadi bahan analisa kita.
Kreatifitas Aremania. Dalam setiap laga kandang dan tandang, dimana Aremania selalu memberikan dukungan dalam bentuk atraksi yang menarik, nyanyian dan lagu2 yang memberikan semangat dan menghibur, tarian yang atraktif.
Sportifitas Aremania. Kalah dan menang adalah bagian dari permainan, dan setiap kemenangan adalah kado terindah bagi Aremania, sedangkan kekalahan bukanlah menjadi alasan untuk membuat ulah dan kerusuhan seperti yang dilakukan beberapa kelompok suporter lain dan uniknya, media seolah-olah sangat hobi sekali untuk mengekspose hal hal semacam ini (kerusuhan suporter) dibanding persahabatan suporter.
Pesan Damai. Aremania selalu membuka tangan lebar-lebar bagi siapapun suporter team Tamu yang berkunjung ke Malang. Dan hal ini tentunya berbalas dengan sambutan meriah mereka jika Aremania berkunjung. Lambat laun, hal ini menjalin persahabatan yang semakin meluas, sehingga hampir di semua tempat di negeri ini, Aremania adalah sahabat yang baik. Mereka datang dengan damai, membeli tiket dengan tertib, dan pulang tanpa meninggalkan jejak kerusuhan.
Dan tentunya masih ada daftar yang lebih panjang untuk menjadi alasannya. Akan tetapi yang dapat kita lihat saat ini, bahwa Aremania tidak hanya mempersempit Indonesia dalam satu stadion Kanjuruhan saja, akan tetapi Aremania telah menerjemahkan arti sebenarnya dari Bhinneka Tunggal Ika. Di dalam stadion kita mendukung team yang berbeda, namun di luar stadion kita adalah saudara. Dan dari sini, dapat kita tarik bahwa lagu "Padamu Negeri" yang dinyanyikan di Kandang Singa setiap Arema akan berlaga tidak hanya menjadi lagu kosong yang hanya sekedar di nyanyikan, akan tetapi bentuk aktualisasinya telah dilakukan dalam pola pemikiran, pola laku, dan pola tindak.
Hari ini aremania sudah menjadi komunitas nasional. Kera-kera Ngalam sudah menyebar dari sabang sampai merauke. Dari Aceh sampai Papua. Nawak-nawak yang ada dimanapun, mari kita tularkan Jiwa dan Semangat Aremania dilingkungan kita masing-masing. (lek).
posted on : http://aremasenayan.com/2011/04/12/universalitas-aremania.php?preview=true&preview_id=2660&preview_nonce=c59b66c894
Vox Populi Vox Dei
Vox Populi Vox Dei, ucapan tersebut seringkali kita dengar dalam berbagai hal yang terkait dengan konteks politik dan demokrasi. Arti dari Kalimat berbahasa Yunani tersebut kurang lebih adalah “suara rakyat suara Tuhan”. Bukan dalam arti kata mempersonifikasikan Tuhan ataupun sebaliknya, menuhankan peran manusia, Kalimat ini lebih berarti mengenai betapa besar kekuasaan yang dimiliki oleh rakyat, dalam arti kata, dalam suatu konsep pemerintahan demokratis, keputusan tertinggi berada di tangan rakyat. Tentunya tidak mungkin diartikan secara harfiah bahwa setiap rakyat berhak untuk mengeluarkan keputusannya sendiri-sendiri, namun ada mekanisme tertentu yang dianut dengan cara yang berbeda-beda oleh masing-masing wilayah teritorial yang berada dalam batasan wilayah Negara.
Dalam konteks sepak bola, dalam hal ini adalah club sepakbola, sebagaimana sedikit diuraikan dalam artikel sebelumnya (Baca : Go A Head Arema Indonesia), bahwa di bebeapa negara Sepakbola maju telah menganut suatu system dimana kepemilikan sebuah club bukan lagi berada di tangan pengusaha konglomerasi pemegang saham, namun beralih pada Suporter. Dalam konsep kepemilikan sebelumnya pun, dimana club sepakbola dimiliki oleh para Pengusaha yang kebanyakan konglomerat memiliki sebuah club dalam bentuk saham. Dalam kutipan dari Wikipedia, saham itu sendiri adalah satuan nilai atau pembukuan dalam berbagai instrumen finansial yang mengacu pada bagian kepemilikan sebuah perusahaan. Dengan demikian, kepemilikan club yang di wujudkan dalam bentuk saham menimbulkan pengertian bahwa club tersebut berbentuk Perusahaan (Badan usaha). Sedangkan Perusahaan adalah tempat terjadinya kegiatan produksi dan berkumpulnya semua faktor produksi, dengan tujuan dan fungsi usaha adalah untuk mendapatkan untung (profit) dengan cara yang sah menurut hukum.
Sepakbola itu sendiri sebelumnya hanyalah sebatas salah satu jenis olah raga yang dimainkan oleh 2 team yang masing-masing beranggotakan sebelas orang dengan peraturan-peraturan yang telah disepakati. Dalam era industrialisasi sepak bola, Sepak Bola mengalami perluasan makna menjadi profesi yang “mempekerjakan” orang-orang yang profesional dibawah satu kelembagaan formal yang berorientasi pada hasil atau keuntungan. Profit oriented ini menjadi ciri khas suatu industri dimana para pelaku industri adalah pengusaha dengan perusahaannya. Dengan konsep seperti ini, maka juara tidak lagi hanya sebatas menjadi gelar, namun akan menjadi pencapaian ekspektasi tertinggi dari kinerja suatu team, dan yang paling penting, juara juga akan menjadi nilai jual yang tinggi bagi pelaku usaha didalamnya.
Dalam suatu upaya usaha, konsekuensi yang didapatkan adalah jika tidak mendapatkan keuntungan, maka akan merugi. Kondisi ini juga lumrah terjadi di dunia industri sepakbola. Ketika sebuah club mengalami keuntungan besar, maka dia akan berupaya untuk lebih meningkatkan nilai jualnya, dengan cara misalnya melakukan pembelian pemain-pemain tersohor dengan harapan bisa meraup untung besar dari merchandise/appareal resmi yang mencantumkan nama dan nomor punggung pemain tersebut. Dalam konteks bisnis hal ini adalah hal yang sangat luar biasa, namun dalam konteks kebutuhan suatu team, belum tentu pembelian pemain ini akan membuat kinerja (permainan) team menjadi lebih baik. Dan ketika sebuah club mengalami kerugian, maka sebaik apapun team yang dimiliki club tersebut harus siap untuk menanggung resiko, seperti yang terjadi pada Fiorentina beberapa tahun yang lalu misalnya, ketika dinyatkaan pailit, dan dianggap tidak mampu mengikuti kompetisi (dari segi finansial) maka salah satu dari The Magnificient Sevent ini harus siap untuk di degradasi secara paksa.
Beberapa club besar saat ini juga tengah mengalami ancaman serupa, seperti halnya Manchester United, akibat pembelian yang dilakukan oleh Glazer dengan cara hutang dan penanganan manajemen yang salah, maka salah satu club terbesar di EPL ini saat ini harus menanggung hutang dalam jumlah yang hampir setara dengan APBN kita. Menengok apa yang telah sukses dilakukan Barcelona beberapa tahun terakhir, melihat pula bagaimana Bundesliga menjadi liga paling sehat dan paling profit di Eropa meskipun dengan harga tiket paling murah di Eropa, Red Army (suprter MU) berupaya mengumpulkan dana untuk membeli club dari Glazer. Kepemilikan club oleh suporter menjadi trend baru di dunia Sepak Bola Eropa bisa jadi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dan tentunya, faktor paling dominan adalah dukungan dan kecintaan suporter terhadap team. Dalam industri sepakbola pun, faktor ini (suporter) juga dianggap salah satu faktor dominan. Dengan dukungan suporter/fans club yang besar dan menggurita di seluruh dunia, bisa dipastikan bisnis akan berjalan dengan lancar, brand dari pihak sponsor pun akan dikenal semakin luas.
Namun, adanya resiko bisnis yang juga cukup besar menjadikan berbagai club menjadi was-was akan mengalami resiko terburuk. Dan untuk mengantisipasi hal itu, atas dasar loyalitas dan kecintaan, suporter mengambil alih kepemilikan club. Dengan dimiliki oleh suporter, yang mendukung secara total dan tidak mengharapkan tendensi keuntungan, diharapkan keberlanjutan sebuah club dalam kompetisi akan dapat terjaga.
Loyalitas Aremania, Potensi besar Arema Indonesia
Hal ini mungkin hal baru untuk diterapkan di Negara kita, alih-alih kepemilikan oleh suporter, Era sepakbola industri saja kita belum pernah mengalami. Tapi jika di tempat lain sudah memberikan kita pelajaran bahwa sepak bola industri adalah cara yang kurang bijak dalam membangun dunia persepakbolaan, dan orang lain telah menyediakan kesimpulan kepada kita, kenapa kita harus bereksperimen ikut melaluinya?. Dengan besarnya basis dukungan dan loyalitas yang luar biasa yang ditunjukkan oleh suporter di tanah air, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa konsep kepemilikan club oleh suporter adalah cara yang paling tepat untuk menjadikan lebih maju dunia persepakbolaan kita.
Yang harus dipahami adalah kepemilikan club oleh suporter bukan berarti kemudian club akan dikelola oleh suporter. Dan juga tidak perlu ada ketakutan akan terjadi perpecahan diinternal pendukung ketika berbicara profit club. Jika kita mengaju pada apa yang dilakukan oleh Barcelona, mekanisme yang dianut adalah dengan menggunakan suatu wadah atau perkumulan. Dengan beranggotakan 170.000 (seratus tujuh puluh ribu orang) dimana masing-masing anggota membayar iuran sebesar 140 Euro setiap tahunnya. Jumlah ini, jauh lebih kecil dibandingkan dengan harga tiket terusan untuk satu musim pertandingan (harga tiket untuk kelas termurah rata-rata adalah 84 Euro). Selanjutnya dana segar yang diperolah dari iuran tersebut akan digunakan untuk operasional perkumpulan yang membawahi club.
Dalam sebuah perkumpulan dengan jumlah anggota sebanyak itu, tentunya dibutuhkan suatu mekanisme keterwakilan untuk menyuarakan segala keputusan dan kebijakan perkumpulan. Dalam hal ini, perkumpulan secara rutin dan periodik menyelenggarakan sebuah mekanisme pemilihan presiden/dewan eksekutif dalam sebuah kongres yang diikuti oleh representasi dari seluruh peserta perkumpulan tersebut. Ada mekanisme tepisah pula untuk memilih perwakilan yang akan hadir di dalam kongres.
Selanjutnya, dewan eksekutif yang terpilih akan menduduki posisi setara dengan komisaris dalam dunia industri sepakbola. Sedangkan posisi direksi dan kebawah adalah para pekerja profesional yang bekerja di digaji secara profesional sebagaimana layaknya club sepakbola. Peran-peran usaha seperti ticketing, sponsorship, merchandise, dll tetap ada. Dan jika setelah dilakukan perhitungan di akhir musim ternyata club mendapatkan profit, maka Barcelona (perkumpulan) sepakat untuk mengalokasikan seluruh profit tersebut dalam bentuk sosial. Ada berbagai lembaga sosial yang dibiayai dan di sumbang oleh Barcelona, yang paling nampak adalah yang dalam beberapa tahun terakhir selalu menemani di jersey team yaitu Unicef, sebuah lembaga sosial dibawah PBB yang bergerak untuk anak-anak dan pendidikan. Dengan kata lain, secara tidak langsung perkumpulan Barcelona ada karena fungsi sosial yang dia miliki.
Dapat kita bayangkan jika hal ini terjadi di negara kita, khususnya Malang, yang memiliki basis suporter terkuat di Indonesia, dengan sebaran yang tidak hanya berada di Malang Raya, namun tersebar di seluruh pelosok nusantara bahkan di luar negeri. Tentunya besarnya basis suporter ini menjadikan potensi untuk pemilikan club berbasis suporter dan jika dilaksanakan berbarengan dengan mengemban fungsi sosial yang diutamakan untuk wilayah Malang Raya, maka pembangunan dan perbaikan diberbagai bidang akan dilaksanakan dan di support oleh kita sendiri. Semoga ini bukan hanya sebatas mimpi. (lek)
posted on : http://aremasenayan.com/2011/04/09/vox-populi-vox-dei.php?preview=true&preview_id=2643&preview_nonce=771b05128a
Dalam konteks sepak bola, dalam hal ini adalah club sepakbola, sebagaimana sedikit diuraikan dalam artikel sebelumnya (Baca : Go A Head Arema Indonesia), bahwa di bebeapa negara Sepakbola maju telah menganut suatu system dimana kepemilikan sebuah club bukan lagi berada di tangan pengusaha konglomerasi pemegang saham, namun beralih pada Suporter. Dalam konsep kepemilikan sebelumnya pun, dimana club sepakbola dimiliki oleh para Pengusaha yang kebanyakan konglomerat memiliki sebuah club dalam bentuk saham. Dalam kutipan dari Wikipedia, saham itu sendiri adalah satuan nilai atau pembukuan dalam berbagai instrumen finansial yang mengacu pada bagian kepemilikan sebuah perusahaan. Dengan demikian, kepemilikan club yang di wujudkan dalam bentuk saham menimbulkan pengertian bahwa club tersebut berbentuk Perusahaan (Badan usaha). Sedangkan Perusahaan adalah tempat terjadinya kegiatan produksi dan berkumpulnya semua faktor produksi, dengan tujuan dan fungsi usaha adalah untuk mendapatkan untung (profit) dengan cara yang sah menurut hukum.
Sepakbola itu sendiri sebelumnya hanyalah sebatas salah satu jenis olah raga yang dimainkan oleh 2 team yang masing-masing beranggotakan sebelas orang dengan peraturan-peraturan yang telah disepakati. Dalam era industrialisasi sepak bola, Sepak Bola mengalami perluasan makna menjadi profesi yang “mempekerjakan” orang-orang yang profesional dibawah satu kelembagaan formal yang berorientasi pada hasil atau keuntungan. Profit oriented ini menjadi ciri khas suatu industri dimana para pelaku industri adalah pengusaha dengan perusahaannya. Dengan konsep seperti ini, maka juara tidak lagi hanya sebatas menjadi gelar, namun akan menjadi pencapaian ekspektasi tertinggi dari kinerja suatu team, dan yang paling penting, juara juga akan menjadi nilai jual yang tinggi bagi pelaku usaha didalamnya.
Dalam suatu upaya usaha, konsekuensi yang didapatkan adalah jika tidak mendapatkan keuntungan, maka akan merugi. Kondisi ini juga lumrah terjadi di dunia industri sepakbola. Ketika sebuah club mengalami keuntungan besar, maka dia akan berupaya untuk lebih meningkatkan nilai jualnya, dengan cara misalnya melakukan pembelian pemain-pemain tersohor dengan harapan bisa meraup untung besar dari merchandise/appareal resmi yang mencantumkan nama dan nomor punggung pemain tersebut. Dalam konteks bisnis hal ini adalah hal yang sangat luar biasa, namun dalam konteks kebutuhan suatu team, belum tentu pembelian pemain ini akan membuat kinerja (permainan) team menjadi lebih baik. Dan ketika sebuah club mengalami kerugian, maka sebaik apapun team yang dimiliki club tersebut harus siap untuk menanggung resiko, seperti yang terjadi pada Fiorentina beberapa tahun yang lalu misalnya, ketika dinyatkaan pailit, dan dianggap tidak mampu mengikuti kompetisi (dari segi finansial) maka salah satu dari The Magnificient Sevent ini harus siap untuk di degradasi secara paksa.
Beberapa club besar saat ini juga tengah mengalami ancaman serupa, seperti halnya Manchester United, akibat pembelian yang dilakukan oleh Glazer dengan cara hutang dan penanganan manajemen yang salah, maka salah satu club terbesar di EPL ini saat ini harus menanggung hutang dalam jumlah yang hampir setara dengan APBN kita. Menengok apa yang telah sukses dilakukan Barcelona beberapa tahun terakhir, melihat pula bagaimana Bundesliga menjadi liga paling sehat dan paling profit di Eropa meskipun dengan harga tiket paling murah di Eropa, Red Army (suprter MU) berupaya mengumpulkan dana untuk membeli club dari Glazer. Kepemilikan club oleh suporter menjadi trend baru di dunia Sepak Bola Eropa bisa jadi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dan tentunya, faktor paling dominan adalah dukungan dan kecintaan suporter terhadap team. Dalam industri sepakbola pun, faktor ini (suporter) juga dianggap salah satu faktor dominan. Dengan dukungan suporter/fans club yang besar dan menggurita di seluruh dunia, bisa dipastikan bisnis akan berjalan dengan lancar, brand dari pihak sponsor pun akan dikenal semakin luas.
Namun, adanya resiko bisnis yang juga cukup besar menjadikan berbagai club menjadi was-was akan mengalami resiko terburuk. Dan untuk mengantisipasi hal itu, atas dasar loyalitas dan kecintaan, suporter mengambil alih kepemilikan club. Dengan dimiliki oleh suporter, yang mendukung secara total dan tidak mengharapkan tendensi keuntungan, diharapkan keberlanjutan sebuah club dalam kompetisi akan dapat terjaga.
Loyalitas Aremania, Potensi besar Arema Indonesia
Hal ini mungkin hal baru untuk diterapkan di Negara kita, alih-alih kepemilikan oleh suporter, Era sepakbola industri saja kita belum pernah mengalami. Tapi jika di tempat lain sudah memberikan kita pelajaran bahwa sepak bola industri adalah cara yang kurang bijak dalam membangun dunia persepakbolaan, dan orang lain telah menyediakan kesimpulan kepada kita, kenapa kita harus bereksperimen ikut melaluinya?. Dengan besarnya basis dukungan dan loyalitas yang luar biasa yang ditunjukkan oleh suporter di tanah air, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa konsep kepemilikan club oleh suporter adalah cara yang paling tepat untuk menjadikan lebih maju dunia persepakbolaan kita.
Yang harus dipahami adalah kepemilikan club oleh suporter bukan berarti kemudian club akan dikelola oleh suporter. Dan juga tidak perlu ada ketakutan akan terjadi perpecahan diinternal pendukung ketika berbicara profit club. Jika kita mengaju pada apa yang dilakukan oleh Barcelona, mekanisme yang dianut adalah dengan menggunakan suatu wadah atau perkumulan. Dengan beranggotakan 170.000 (seratus tujuh puluh ribu orang) dimana masing-masing anggota membayar iuran sebesar 140 Euro setiap tahunnya. Jumlah ini, jauh lebih kecil dibandingkan dengan harga tiket terusan untuk satu musim pertandingan (harga tiket untuk kelas termurah rata-rata adalah 84 Euro). Selanjutnya dana segar yang diperolah dari iuran tersebut akan digunakan untuk operasional perkumpulan yang membawahi club.
Dalam sebuah perkumpulan dengan jumlah anggota sebanyak itu, tentunya dibutuhkan suatu mekanisme keterwakilan untuk menyuarakan segala keputusan dan kebijakan perkumpulan. Dalam hal ini, perkumpulan secara rutin dan periodik menyelenggarakan sebuah mekanisme pemilihan presiden/dewan eksekutif dalam sebuah kongres yang diikuti oleh representasi dari seluruh peserta perkumpulan tersebut. Ada mekanisme tepisah pula untuk memilih perwakilan yang akan hadir di dalam kongres.
Selanjutnya, dewan eksekutif yang terpilih akan menduduki posisi setara dengan komisaris dalam dunia industri sepakbola. Sedangkan posisi direksi dan kebawah adalah para pekerja profesional yang bekerja di digaji secara profesional sebagaimana layaknya club sepakbola. Peran-peran usaha seperti ticketing, sponsorship, merchandise, dll tetap ada. Dan jika setelah dilakukan perhitungan di akhir musim ternyata club mendapatkan profit, maka Barcelona (perkumpulan) sepakat untuk mengalokasikan seluruh profit tersebut dalam bentuk sosial. Ada berbagai lembaga sosial yang dibiayai dan di sumbang oleh Barcelona, yang paling nampak adalah yang dalam beberapa tahun terakhir selalu menemani di jersey team yaitu Unicef, sebuah lembaga sosial dibawah PBB yang bergerak untuk anak-anak dan pendidikan. Dengan kata lain, secara tidak langsung perkumpulan Barcelona ada karena fungsi sosial yang dia miliki.
Dapat kita bayangkan jika hal ini terjadi di negara kita, khususnya Malang, yang memiliki basis suporter terkuat di Indonesia, dengan sebaran yang tidak hanya berada di Malang Raya, namun tersebar di seluruh pelosok nusantara bahkan di luar negeri. Tentunya besarnya basis suporter ini menjadikan potensi untuk pemilikan club berbasis suporter dan jika dilaksanakan berbarengan dengan mengemban fungsi sosial yang diutamakan untuk wilayah Malang Raya, maka pembangunan dan perbaikan diberbagai bidang akan dilaksanakan dan di support oleh kita sendiri. Semoga ini bukan hanya sebatas mimpi. (lek)
posted on : http://aremasenayan.com/2011/04/09/vox-populi-vox-dei.php?preview=true&preview_id=2643&preview_nonce=771b05128a
Menguji Profesionalisme
Miroslav Janu, Head Coach Arema Indonesia
Berbincang pagi dengan seorang nawak setelah membaca salah satu berita di Malang Post yang berisi wawancara reporter dengan pelatih Arema Miroslav Janu, dimana kompetisi Liga Primer Indonesia (LPI) yang telah bergulir sejak 8 Januari 2011. Namun, meskipun telah berjalan, LPI masih terus bergerilya untuk membujuk team kebanggaan kita Arema Indonesia maupun menggembosi satu demi satu pemainnya untuk di bujuk bergabung dalam kompetisi dadakan tersebut.
Berikut adalah petikan wawancara tersebut :
Malang Post (MP): Anda dikabarkan juga akan keluar dari Arema dan ikut LPI?
Miroslav Janu (MJ) : Soal saya mau gabung LPI itu tidak benar. Saya tidak ada kontrak dengan LPI. Saya sudah ada komitmen untuk bersama Arema. Saya sudah janji disini, saya mau ikut kontrak selama satu tahun. Soal nanti, lihat nanti, sekarang saya pelatih Arema, saya terus motivasi pemain untuk latihan, dan harus kerja keras. Saya mau kerja untuk Arema, tapi saya tidak bisa garansi Arema untuk juara, saya hanya garansi saya kerja keras untuk Arema, ini pekerjaan saya. Saya sudah deal dengan Arema, saya tidak lihat uang dulu, kalau sekarang ada LPI yang lebih banyak uang, ini resiko pelatih, saya dapat kontrak dan saya kerja ini untuk Arema. Mungkin ada pelatih yang lebih banyak uang, silahkan saja. Saya sudah deal dengan Arema, dan saya percaya Arema. Arema bisa saja pecat saya, ini resiko pelatih, kenapa tidak.
MP : Bagaimana dengan Njanka yang dikabarkan ikut LPI?
MJ : Saya bicara fair, saya tidak bisa lihat dalam kepala pemain. Mungkin sudah ada pemain yang mulai pikir untuk ganti tim, saya tidak mau bicara soal lain, seperti Njanka. Kalau saya tahu dulu, saya tidak akan mainkan Njanka saat lawan Persija.
MP: Bagaimana kalau ada pemain lain yang mau keluar dan ikut LPI?
MJ: Ada banyak pemain yang mau tetap disini dan mau kerja untuk Arema. Ya mungkin ada pemain yang pikir, LPI tidak usah banyak latihan. Saya lihat dua pertandingan LPI, ini mungkin kualitas Divisi I, ya kalau mau ikut LPI, bisa tidak usah latihan keras, karena mungkin sudah lihat umur, pemain bisa kontrak tiga tahun, bisa hidup enak, dan tidak usah latihan keras, dan bisa banyak uang, silahkan! Tapi kalau lihat sport, pemain seperti (Irfan) Bachdim, harus main di Liga Super, ya kalau mau karir bagus, masuk timnas, tidak bisa di LPI. Mungkin dia di LPI bisa top score, tapi di Liga Super susah. Di LPI dia bisa cetak gol terus, tapi kualitas kompetisi beda. Kompetisi LPI ini biasa, semua bisa masuk. Saya tidak marah, semua pemain urus mereka sendiri, mau LPI atau mau Liga Super. Kalau ada pemain Arema yang mau ikut LPI, harus datang dan bicara dulu. Datang pada saya, bilang mau ikut LPI, dan tidak suka Arema, silahkan. Tapi harus bicara dulu. LPI terus kejar Arema dan pemain Arema karena LPI tahu Arema ada problem uang.
MP : Anda tidak suka LPI?
MJ : Saya tidak ada problem suka LPI atau tidak, saya hanya lihat dari TV. Saya tidak pikir banyak soal LPI. Menurut saya, tim besar besar seperti PSM, harusnya ikut kompetisi Liga Super, kompetisi paling bagus. Saya tahu orang Makassar, hampir semua marah, karena tidak mau PSM main lawan tim kampung. Mereka mau lihat PSM main tim bagus, seperti Persija. Saya tidak mau ikut campur LPI, buat pertandingan LPI, silahkan. Saya tidak tahu nanti, tahun depan ada kerja disini atau tidak, tapi saya sekarang pelatih Arema. Lihat nanti, saya tidak marah soal LPI, silahkan saja.
MP : Sebenarnya menurut Anda, LPI itu bagaimana LPI?
MJ: Sebenarnya dari hitung-hitungan sederhana saja, sekarang ini kompetisi Liga Super sudah ada problem untuk satu tim dapat sekitar 25 pemain berkualitas. Divisi Utama juga problem untuk dapat pemain berkualitas, kalau mau lolos atau main di papan atas. Bisa dihitung. Liga Super ada 15 tim dikali 25 pemain yang bagus, lalu tim Divisi Utama yang ada tiga wilayah, juga problem untuk cari pemain berkualitas. Bisa lihat, banyak tim yang kualitas pemainnya tidak bagus. Ini sudah problem. Sekarang datang 19 tim LPI, yang jumlah pemainnya 20 dampai 25 pemain. Coba dihitung ada berapa pemain berkualitas disitu. Lalu dimana ada kualitas kompetisi? Divisi utama saja sudah ada problem kualitas pemain, sekarang mau buat kompetisi baru. Mungkin hanya ada Persema, Persibo dan PSM, tim yang berkualitas. Nanti juara bisa PSM atau Persema. Ini hitungan sederhana, darimana dapat pemain berkualitas? Apa dari tim Divisi I atau dari kampung! Tapi LPI sudah bicara sepakbola yang berkualitas, saya tidak mengerti. Kalau saya pelatih dan saya ada target main di papan atas, dengan atmosfir kompetisi yang bagus, dan idealnya main Liga Champion, maka saya pilih Liga Super. Pemain harusnya juga sama, Liga Champions ini top class, tidak ada yang lebih dari Liga Champions. Kalau pemain seperti Njanka mau main liga kampung, silahkan. Ini spekulasi uang, bukan sportifitas. Dia tidak mau lihat sport, tidak mau main lawan tim bagus dari Jepang, dan tim Liga Champions lainnya. Mau lihat uang saja. Tapi saya tidak marah, silahkan saja. Pemain yang pilih sendiri. Mungkin karena sudah ada umur, mungkin dapat kontrak bagus, dua atau tiga tahun, saya tidak marah. Silahkan.
Dari petikan wawancara tersebut dapat kita simak bagaimana Miro adalah seorang pelatih yang profesional, dimana dia akan tetap berkomitmen dengan kontrak yang telah ditandanganinya, dan apabila dinilai wanprestasipun, dia akan siap di pecat itu adalah resiko dari seorang profesional. Lebih lanjut, melihat komposisi team dan pemain, Miro lebih melihat LPI adalah sebagai kompetisi kampung yang memiliki bobot kualitas di bawah ISL. Suatu sistem kompetisi yang kurang tepat untuk para pemain yang ingin berkembang dan bermain melawan team-team yang bagus.
Tentang LPI yang terus bergerilya untuk mendapatkan Arema Indonesia maupun para pemainnya dapat kita lihat lebih dikarenakan Arema Indonesia sendiri adalah team yang bagus. Dari segi komposisi pemainnya, mayoritas pemain Arema Indonesia adalah materi team juara ISL 2009-2010. Dilihat dari segi struktur organisasinya dan sumber pendanaan, Arema Indonesia adalah satu dari sedikit sekali team di Indonesia yang sudah benar-benar profesional. Dilihat dari segi basis pendukungnya, dapat kita maklumi jika LPI amat sangat berambisi mendapatkan Arema Indonesia, karena dilihat dari basis pendukungnya Arema Indonesia memiliki basis pendukung atau suporter yang luar biasa, baik dalam segi jumlah maupun loyalitasnya.
Dan bagi LPI yang mengklaim bahwa kompetisi yang dibangun adalah kompetisi yang berbasis Industri, dimana Industri tidak akan bisa berjalan tanpa adanya pasar yang besar, dan dalam dunia Industri Sepakbola, pasar berarti suporter, Industri Sepakbola tidak akan berjalan tanpa adanya dukungan basis suporter yang besar. Itulah yang terjadi pada mayoritas team peserta LPI yang merupakan team yang baru berdiri yang tidak/belum memiliki basis suporter yang besar.
Aremania, sebagai basis suporter Arema Indonesia tidak menjadi besar begitu saja, akan tetapi setelah melalui berbagai tahapan dan proses. Aremania menjadi komunitas yang besar tidak karena Arema Indonesia adalah team kaya yang dimanja dengan gelontoran dana yang besar, tidak pula karena team berplat merah yang dimanja dengan segala fasilitas dan kemudahan. Akan tetapi kedewasaan Aremania adalah karena Arema Indonesia adalah team yang hampir selalu bermasalah dalam segi keuangan yang selalu membutuhkan dukungan dan pengawalan Aremania. Setiap orang yang masuk stadion tanpa tiket berarti adalah memperbesar bencana bagi team. Oleh karena itu, membangun industri sepakbola tiak bisa dilakukan secara serta merta, akan tetapi butuh proses panjang yang harus dilakukan dari bawah, bukan dari atas. (lek)
Berbincang pagi dengan seorang nawak setelah membaca salah satu berita di Malang Post yang berisi wawancara reporter dengan pelatih Arema Miroslav Janu, dimana kompetisi Liga Primer Indonesia (LPI) yang telah bergulir sejak 8 Januari 2011. Namun, meskipun telah berjalan, LPI masih terus bergerilya untuk membujuk team kebanggaan kita Arema Indonesia maupun menggembosi satu demi satu pemainnya untuk di bujuk bergabung dalam kompetisi dadakan tersebut.
Berikut adalah petikan wawancara tersebut :
Malang Post (MP): Anda dikabarkan juga akan keluar dari Arema dan ikut LPI?
Miroslav Janu (MJ) : Soal saya mau gabung LPI itu tidak benar. Saya tidak ada kontrak dengan LPI. Saya sudah ada komitmen untuk bersama Arema. Saya sudah janji disini, saya mau ikut kontrak selama satu tahun. Soal nanti, lihat nanti, sekarang saya pelatih Arema, saya terus motivasi pemain untuk latihan, dan harus kerja keras. Saya mau kerja untuk Arema, tapi saya tidak bisa garansi Arema untuk juara, saya hanya garansi saya kerja keras untuk Arema, ini pekerjaan saya. Saya sudah deal dengan Arema, saya tidak lihat uang dulu, kalau sekarang ada LPI yang lebih banyak uang, ini resiko pelatih, saya dapat kontrak dan saya kerja ini untuk Arema. Mungkin ada pelatih yang lebih banyak uang, silahkan saja. Saya sudah deal dengan Arema, dan saya percaya Arema. Arema bisa saja pecat saya, ini resiko pelatih, kenapa tidak.
MP : Bagaimana dengan Njanka yang dikabarkan ikut LPI?
MJ : Saya bicara fair, saya tidak bisa lihat dalam kepala pemain. Mungkin sudah ada pemain yang mulai pikir untuk ganti tim, saya tidak mau bicara soal lain, seperti Njanka. Kalau saya tahu dulu, saya tidak akan mainkan Njanka saat lawan Persija.
MP: Bagaimana kalau ada pemain lain yang mau keluar dan ikut LPI?
MJ: Ada banyak pemain yang mau tetap disini dan mau kerja untuk Arema. Ya mungkin ada pemain yang pikir, LPI tidak usah banyak latihan. Saya lihat dua pertandingan LPI, ini mungkin kualitas Divisi I, ya kalau mau ikut LPI, bisa tidak usah latihan keras, karena mungkin sudah lihat umur, pemain bisa kontrak tiga tahun, bisa hidup enak, dan tidak usah latihan keras, dan bisa banyak uang, silahkan! Tapi kalau lihat sport, pemain seperti (Irfan) Bachdim, harus main di Liga Super, ya kalau mau karir bagus, masuk timnas, tidak bisa di LPI. Mungkin dia di LPI bisa top score, tapi di Liga Super susah. Di LPI dia bisa cetak gol terus, tapi kualitas kompetisi beda. Kompetisi LPI ini biasa, semua bisa masuk. Saya tidak marah, semua pemain urus mereka sendiri, mau LPI atau mau Liga Super. Kalau ada pemain Arema yang mau ikut LPI, harus datang dan bicara dulu. Datang pada saya, bilang mau ikut LPI, dan tidak suka Arema, silahkan. Tapi harus bicara dulu. LPI terus kejar Arema dan pemain Arema karena LPI tahu Arema ada problem uang.
MP : Anda tidak suka LPI?
MJ : Saya tidak ada problem suka LPI atau tidak, saya hanya lihat dari TV. Saya tidak pikir banyak soal LPI. Menurut saya, tim besar besar seperti PSM, harusnya ikut kompetisi Liga Super, kompetisi paling bagus. Saya tahu orang Makassar, hampir semua marah, karena tidak mau PSM main lawan tim kampung. Mereka mau lihat PSM main tim bagus, seperti Persija. Saya tidak mau ikut campur LPI, buat pertandingan LPI, silahkan. Saya tidak tahu nanti, tahun depan ada kerja disini atau tidak, tapi saya sekarang pelatih Arema. Lihat nanti, saya tidak marah soal LPI, silahkan saja.
MP : Sebenarnya menurut Anda, LPI itu bagaimana LPI?
MJ: Sebenarnya dari hitung-hitungan sederhana saja, sekarang ini kompetisi Liga Super sudah ada problem untuk satu tim dapat sekitar 25 pemain berkualitas. Divisi Utama juga problem untuk dapat pemain berkualitas, kalau mau lolos atau main di papan atas. Bisa dihitung. Liga Super ada 15 tim dikali 25 pemain yang bagus, lalu tim Divisi Utama yang ada tiga wilayah, juga problem untuk cari pemain berkualitas. Bisa lihat, banyak tim yang kualitas pemainnya tidak bagus. Ini sudah problem. Sekarang datang 19 tim LPI, yang jumlah pemainnya 20 dampai 25 pemain. Coba dihitung ada berapa pemain berkualitas disitu. Lalu dimana ada kualitas kompetisi? Divisi utama saja sudah ada problem kualitas pemain, sekarang mau buat kompetisi baru. Mungkin hanya ada Persema, Persibo dan PSM, tim yang berkualitas. Nanti juara bisa PSM atau Persema. Ini hitungan sederhana, darimana dapat pemain berkualitas? Apa dari tim Divisi I atau dari kampung! Tapi LPI sudah bicara sepakbola yang berkualitas, saya tidak mengerti. Kalau saya pelatih dan saya ada target main di papan atas, dengan atmosfir kompetisi yang bagus, dan idealnya main Liga Champion, maka saya pilih Liga Super. Pemain harusnya juga sama, Liga Champions ini top class, tidak ada yang lebih dari Liga Champions. Kalau pemain seperti Njanka mau main liga kampung, silahkan. Ini spekulasi uang, bukan sportifitas. Dia tidak mau lihat sport, tidak mau main lawan tim bagus dari Jepang, dan tim Liga Champions lainnya. Mau lihat uang saja. Tapi saya tidak marah, silahkan saja. Pemain yang pilih sendiri. Mungkin karena sudah ada umur, mungkin dapat kontrak bagus, dua atau tiga tahun, saya tidak marah. Silahkan.
Dari petikan wawancara tersebut dapat kita simak bagaimana Miro adalah seorang pelatih yang profesional, dimana dia akan tetap berkomitmen dengan kontrak yang telah ditandanganinya, dan apabila dinilai wanprestasipun, dia akan siap di pecat itu adalah resiko dari seorang profesional. Lebih lanjut, melihat komposisi team dan pemain, Miro lebih melihat LPI adalah sebagai kompetisi kampung yang memiliki bobot kualitas di bawah ISL. Suatu sistem kompetisi yang kurang tepat untuk para pemain yang ingin berkembang dan bermain melawan team-team yang bagus.
Tentang LPI yang terus bergerilya untuk mendapatkan Arema Indonesia maupun para pemainnya dapat kita lihat lebih dikarenakan Arema Indonesia sendiri adalah team yang bagus. Dari segi komposisi pemainnya, mayoritas pemain Arema Indonesia adalah materi team juara ISL 2009-2010. Dilihat dari segi struktur organisasinya dan sumber pendanaan, Arema Indonesia adalah satu dari sedikit sekali team di Indonesia yang sudah benar-benar profesional. Dilihat dari segi basis pendukungnya, dapat kita maklumi jika LPI amat sangat berambisi mendapatkan Arema Indonesia, karena dilihat dari basis pendukungnya Arema Indonesia memiliki basis pendukung atau suporter yang luar biasa, baik dalam segi jumlah maupun loyalitasnya.
Dan bagi LPI yang mengklaim bahwa kompetisi yang dibangun adalah kompetisi yang berbasis Industri, dimana Industri tidak akan bisa berjalan tanpa adanya pasar yang besar, dan dalam dunia Industri Sepakbola, pasar berarti suporter, Industri Sepakbola tidak akan berjalan tanpa adanya dukungan basis suporter yang besar. Itulah yang terjadi pada mayoritas team peserta LPI yang merupakan team yang baru berdiri yang tidak/belum memiliki basis suporter yang besar.
Aremania, sebagai basis suporter Arema Indonesia tidak menjadi besar begitu saja, akan tetapi setelah melalui berbagai tahapan dan proses. Aremania menjadi komunitas yang besar tidak karena Arema Indonesia adalah team kaya yang dimanja dengan gelontoran dana yang besar, tidak pula karena team berplat merah yang dimanja dengan segala fasilitas dan kemudahan. Akan tetapi kedewasaan Aremania adalah karena Arema Indonesia adalah team yang hampir selalu bermasalah dalam segi keuangan yang selalu membutuhkan dukungan dan pengawalan Aremania. Setiap orang yang masuk stadion tanpa tiket berarti adalah memperbesar bencana bagi team. Oleh karena itu, membangun industri sepakbola tiak bisa dilakukan secara serta merta, akan tetapi butuh proses panjang yang harus dilakukan dari bawah, bukan dari atas. (lek)
LPI, PSSI dan Revolusi PSSI
Gegap Gempita dukungan Rakyat untuk Team Nasional (photo by PAS)
Olah raga voetbal atau Sepak bola diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia sejak akhir 1920, dan biasa dimainkan untuk meramaikan pasar malam. Lapangan Singa (Lapangan Banteng) menjadi saksi di mana orang Belanda sering menggelar pertandingan panca lomba (vijfkam) dan tienkam(dasa lomba). Khusus untuk sepak bola, serdadu di tangsi-tangsi militer paling sering bertanding. Mereka kemudian membentuk bond sepak bola atau perkumpulan sepak bola. Dari bond-bond itulah kemudian terbentuk satu klub besar. Tak hanya serdadu militer, tapi juga warga Belanda, Eropa, dan Indo membuat bond-bond serupa.
Dari bond-bond itu kemudian terbentuklah Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB) yang pada tahun 1927 berubah menjadi Nederlandsch Indische Voetbal Unie (NIVU). Sampai tahun 1929, NIVU sering mengadakan pertandingan termasuk dalam rangka memeriahkan pasar malam dan tak ketinggalan sebagai ajang judi. Bond China menggunakan nama antara lain Tiong un Tong, Donar, dan UMS. Adapun bond pribumi biasanya mengambil nama wilayahnya, seperti Cahaya Kwitang, Sinar Kernolong, atau Si Sawo Mateng.
Pada 1928 dibentuk Voetbalbond Indonesia Jacatra (VIJ) sebagai akibat dari diskriminasi yang dilakukan NIVB. Sebelumnya bahkan sudah dibentuk Persatuan Sepak Bola Djakarta (Persidja) pada 1925. Pada 19 April 1930, Persidja ikut membentuk Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) di gedung Soceiteit Hande Projo, Yogyakarta. Pada saat itu Persidja menggunakan lapangan di Jalan Biak, Roxy, Jakpus.
Pada tahun 1930-an, di Indonesia berdiri tiga organisasi sepakbola berdasarkan suku bangsa, yaitu Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB) yang lalu berganti nama menjadi Nederlandsch Indische Voetbal Unie (NIVU) di tahun 1936 milik bangsa Belanda, Hwa Nan Voetbal Bond(HNVB) punya bangsa Tionghoa, dan Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI) milik orang Indonesia.
Memasuki tahun 1930-an, pamor bintang lapangan Bond NIVB, G Rehatta dan de Wolf, mulai menemui senja berganti bintang lapangan bond China dan pribumi, seperti Maladi, Sumadi, dan Ernst Mangindaan. Pada 1933, VIJ keluar sebagai juara pada kejuaraan PSSI ke-3.
Pada 1938 Indonesia lolos ke Piala Dunia. Pengiriman kesebelasan Indonesia (Hindia Belanda) sempat mengalami hambatan. NIVU (Nederlandsche Indische Voetbal Unie) atau organisasi sepak bola Belanda di Jakarta bersitegang dengan PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) yang telah berdiri pada bulan April 1930. PSSI yang diketuai Soeratin Sosrosoegondo, insinyur lulusan Jerman yang lama tinggal di Eropa, ingin pemain PSSI yang dikirimkan. Namun, akhirnya kesebelasan dikirimkan tanpa mengikutsertakan pemain PSSI dan menggunakan bendera NIVU yang diakui FIFA.
Pada masa Jepang, semua bond sepak bola dipaksa masuk Tai Iku Koi bentukan pemerintahan militer Jepang. Di masa ini, Taiso, sejenis senam, menggantikan olahraga permainan. Baru setelah kemerdekaan, olahraga permainan kembali semarak.
Tahun 1948, pesta olahraga bernama PON (Pekan Olahraga Nasional) diadakan pertama kali di Solo. Di kala itu saja, sudah 12 cabang olahraga yang dipertandingkan. Sejalan dengan olahraga permainan, khususnya sepak bola, yang makin populer di masyarakat, maka kebutuhan akan berbagai kelengkapan olahraga pun meningkat. Di tahun 1960-1970-an, pemuda Jakarta mengenal toko olahraga Siong Fu yang khusus menjual sepatu bola. Produk dari toko sepatu di Pasar Senen ini jadi andalan sebelum sepatu impor menyerbu Indonesia. Selain Pasar Senen, toko olahraga di Pasar Baru juga menyediakan peralatan sepakbola.
Pengaruh Belanda dalam dunia sepak bola di Indonesia adalah adanya istilah henbal, trekbal (bola kembali), kopbal (sundul bola), losbal (lepas bola), dan tendangan 12 pas. Istilah beken itu kemudian memudar manakala demam bola Inggris dimulai sehingga istilah-istilah tersebut berganti dengan istilah persepakbolaan Inggris. Sementara itu, hingga 1950 masih terdapat pemain indo di beberapa klub Jakarta. Sebut saja Vander Vin di klub UMS; Van den Berg, Hercules, Niezen, dan Pesch dari klub BBSA. Pemain indo mulai luntur di tahun 1960-an
Perjalanan panjang PSSI sejak dipimpin oleh Ketua Umum pertama Ir. Soeratin pada 1930 hingga saat ini telah melalui berbagai hal. Dan di sepanjang perjalannya itu, PSSI seakan-akan kehabisan tinta emas untuk menorehkan prestasinya baik di tingkatan regional maupun internasional. Lolosnya Tim Nasional Indonesia (waktu itu bernama Dutch East Indies = Hindia Belanda ) ke ajang Piala Dunia 1938, pada saat itu Tim Nasional yang lolos tidak berada di bawah kendali PSSI, melainkan NIVU (Nederlandsche Indische Voetbal Unie) atau organisasi sepak bola Belanda di Jakarta, di bawah asuhan pelatih berkebangsaan Belanda Johannes Christoffel van Mastenbroek.
Di bawah PSSI melalui PT. Liga Indonesia (dahulu BLI) berlangsung beberapa tingkatankompetisi mulai dari Divisi I, Divisi Utama, dan yang paling atas adalah Liga Super Indonesia (LSI). Sebelumnya, sejarah panjang kompetisi di tanah air telah berlangsung sejak lama, diantaranya adala dualisme kompetisi Liga Sepakbola Utama (Galatama) yang mempertemukan team-team swasta non APBD dengan Liga Perserikatan, kemudian peleburan kedua liga tersebut menjadi Divisi-Divisi kompetisi yang terbagi dalam beberapa wilayah, hingga format kompetisi Liga Super Indonesia yang diikuti oleh 18 team dan menggunakan sistem kompetisi penuh (Home-Away).
Sejarah panjang yang membentuk kompetisi tersebut diikuti pula oleh sejarah panjang masing-masing team peserta Liga Super Indonesia. Sehingga masing-masing team peserta LSI disamping mengikuti kompetisi secara nasional, namun di bawahnya juga memiliki akademi pembinaan dan liga domestik yang diikuti oleh team-team binaan yang tersebar ke dalam wilayah-wilayah yang lebih kecil, sehingga bisa dikatakan bahwa kompetisi LSI dan tingkatan dibawahnya adalah sistem kompetisi yang memiliki dukungan yang masif dan disertai pula dengan sistem pembinaan yang telah berlangsung sejak lama.
Di tahun 2011 atau tahun ke 8 (delapan) kepemimpinan Ketua Umum PSSI paling kontroversial dan minim prestasi Nurdin Halid, muncul gelaran kompetisi lain yang disebut dengan Liga Primer Indonesia (LPI). Berdalih meneruskan hasil Kongres Sepakbola Nasional yang berlangsung di Malang, Jawa Timur tahun sebelumnya, kompetisi yang dimotori oleh raja minyak Arifin Panigoro ini diikuti oleh 19 team yang 15 diantaranya adalah team yang baru terbentuk dan notabene tidak atau belum memiliki sistem pembinaan dan dukungan suporter yang masif. Analisa dari berbagai pihak, kemunculan LPI adalah akumulasi dari kekecawaan terhadap PSSI pimpinan duet Nurdin Halid dan Nugraha Besoes.
Jauh sebelumnya, kemunculan PSSI dibawah pimpinan Ir. Soeratin berawal dari semangat nasionalisme dan kebangsaan ketika pada saat itu, organisasi sepakbola yang ada adalah organisasi sepakbola yang berdasarkan atas suku bangsa. Sehingga dengan semangat nasionalisme dan kebangsaan Ir. Soeratin membentuk PSSI yang memiliki tugas mulia untuk mempersatukan bangsa melalui sepakbola.
Kondisi persepakbolaan nasional yang minim prestasi dan kerapkali diwarnai dengan ketidakpuasan dan kecurigaan adanya ketidakjujuran dan minimnya sportifitas di dalam kompetisi dalam negeri mengundang seluruh pelaku dan pengamat sepakbola nasional untuk menyuarakan adanya reformasi Sepakbola Nasional. Kegerahan terhadap kondisi yang ada ini makin memuncak ketika Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menyerukan untuk dilangsungkannya Kongres Sepakbola Nasional yang diikuti tidak hanya oleh pelaku sepakbola yang terlibat didalam lapangan dan pengambil kebijakan dalam sistem sepakbola nasional,a akan tetapi juga diikuti oleh berbagai pihak dan elemen diluar itu yang respect terhadap kondisi sepakbola nasional, tidak terkecuali para jurnalis dan pengamat sepakbola.
Mandegnya hasil Kongres Sepakbola Nasional yang salah satunya menyerukan adanya reformasi membuat gerah para pihak terutama yang berada di luar sistem pengambil keputusan sepakbola nasional. Kegerahan dan kekecewaan itu semakin terakumulasi dan melibatkan banyak pihak termasuk taipan ternama Arifin Panigoro. Dengan menggelontorkan dana puluhan Milyar Rupiah, Arifin Panigoro yang juga dikenal penggila bola memotori jalannya LPI.
Berkiblat pada sistem kompetisi luar negeri khususnya eropa yang menganut sistem Industri Sepakbola dalam sistem kompetisinya, LPI digelar mulai 8 Januari 2011. Namun ada beberapa hal yang menurut pengamatan penulis lolos dari perhatian para penggagas LPI. Yang pertama adalah bahwa sistem kompetisi berbasis Industri Sepakbola di eropa adalah sistem kompetisi yang bersifat bottom up, sehingga setiap team yang mengikuti kompetisi telah masif sejak tingkatan bawah, mulai dari sistem pembinaan yang matang dan team-team binaannya, sehingga dengan dukungan (market) yang besar bisa dikatakan bahwa Industri akan berjalan dengan baik, karena sistem pasar akan berjalan dengan baik. Hal ini bertolak belakang dengan LPI yang lebih bersifat top down, dimana kompetisi ini bisa berjalan karena adanya kucuran dana yang luar biasa besar, dan sistem kendali yang tersentral di pusat. Yang kedua, sistem pembinaan sejak usia dini yang tidak atau belum diperhatikan dengan seksama di LPI mengancam masa depan masing-masing team, sehingga di khawatirkan LPI hanya akan menjadi industri, tanpa melahirkan dan membina sosok-sosok penuh talenta. Yang ketiga dan tidak kalah pentingnya, kucuran dana yang begitu besar akan memicu minat para pegiat proyek untuk mengajukan proposal proyek baru yaitu ......FC.
Seluruh elemen bangsa ini tentunya berharap ada 11 bintang lapangan hijau diantara 250juta rakyatnya yang berjuang memperjuangkan nama besar Indonesia di kancah Internasional. Hal tersebut tentunya memerlukan kerja keras dan ketulusan dari pihak-pihak terkait. Jika ada satu atau lebih orang yang tidak memiliki semangat kerja keras dan ketulusan berada di dalam suatu sistem, bukan berarti kemudian kita harus merombak dan merusak sistem tersebut. Semua pihak menyadari bahwa diperlukan adanya reformasi atau bahkan revolusi di tubuh PSSI, namun revolusi hanya akan berjalan jika di dukung secara masif dari bawah hingga keatas, bukan sebaliknya. (lek)
posted on : LPI, PSSI dan Reformasi Sepakbola Nasional
Olah raga voetbal atau Sepak bola diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia sejak akhir 1920, dan biasa dimainkan untuk meramaikan pasar malam. Lapangan Singa (Lapangan Banteng) menjadi saksi di mana orang Belanda sering menggelar pertandingan panca lomba (vijfkam) dan tienkam(dasa lomba). Khusus untuk sepak bola, serdadu di tangsi-tangsi militer paling sering bertanding. Mereka kemudian membentuk bond sepak bola atau perkumpulan sepak bola. Dari bond-bond itulah kemudian terbentuk satu klub besar. Tak hanya serdadu militer, tapi juga warga Belanda, Eropa, dan Indo membuat bond-bond serupa.
Dari bond-bond itu kemudian terbentuklah Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB) yang pada tahun 1927 berubah menjadi Nederlandsch Indische Voetbal Unie (NIVU). Sampai tahun 1929, NIVU sering mengadakan pertandingan termasuk dalam rangka memeriahkan pasar malam dan tak ketinggalan sebagai ajang judi. Bond China menggunakan nama antara lain Tiong un Tong, Donar, dan UMS. Adapun bond pribumi biasanya mengambil nama wilayahnya, seperti Cahaya Kwitang, Sinar Kernolong, atau Si Sawo Mateng.
Pada 1928 dibentuk Voetbalbond Indonesia Jacatra (VIJ) sebagai akibat dari diskriminasi yang dilakukan NIVB. Sebelumnya bahkan sudah dibentuk Persatuan Sepak Bola Djakarta (Persidja) pada 1925. Pada 19 April 1930, Persidja ikut membentuk Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) di gedung Soceiteit Hande Projo, Yogyakarta. Pada saat itu Persidja menggunakan lapangan di Jalan Biak, Roxy, Jakpus.
Pada tahun 1930-an, di Indonesia berdiri tiga organisasi sepakbola berdasarkan suku bangsa, yaitu Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB) yang lalu berganti nama menjadi Nederlandsch Indische Voetbal Unie (NIVU) di tahun 1936 milik bangsa Belanda, Hwa Nan Voetbal Bond(HNVB) punya bangsa Tionghoa, dan Persatoean Sepakraga Seloeroeh Indonesia (PSSI) milik orang Indonesia.
Memasuki tahun 1930-an, pamor bintang lapangan Bond NIVB, G Rehatta dan de Wolf, mulai menemui senja berganti bintang lapangan bond China dan pribumi, seperti Maladi, Sumadi, dan Ernst Mangindaan. Pada 1933, VIJ keluar sebagai juara pada kejuaraan PSSI ke-3.
Pada 1938 Indonesia lolos ke Piala Dunia. Pengiriman kesebelasan Indonesia (Hindia Belanda) sempat mengalami hambatan. NIVU (Nederlandsche Indische Voetbal Unie) atau organisasi sepak bola Belanda di Jakarta bersitegang dengan PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) yang telah berdiri pada bulan April 1930. PSSI yang diketuai Soeratin Sosrosoegondo, insinyur lulusan Jerman yang lama tinggal di Eropa, ingin pemain PSSI yang dikirimkan. Namun, akhirnya kesebelasan dikirimkan tanpa mengikutsertakan pemain PSSI dan menggunakan bendera NIVU yang diakui FIFA.
Pada masa Jepang, semua bond sepak bola dipaksa masuk Tai Iku Koi bentukan pemerintahan militer Jepang. Di masa ini, Taiso, sejenis senam, menggantikan olahraga permainan. Baru setelah kemerdekaan, olahraga permainan kembali semarak.
Tahun 1948, pesta olahraga bernama PON (Pekan Olahraga Nasional) diadakan pertama kali di Solo. Di kala itu saja, sudah 12 cabang olahraga yang dipertandingkan. Sejalan dengan olahraga permainan, khususnya sepak bola, yang makin populer di masyarakat, maka kebutuhan akan berbagai kelengkapan olahraga pun meningkat. Di tahun 1960-1970-an, pemuda Jakarta mengenal toko olahraga Siong Fu yang khusus menjual sepatu bola. Produk dari toko sepatu di Pasar Senen ini jadi andalan sebelum sepatu impor menyerbu Indonesia. Selain Pasar Senen, toko olahraga di Pasar Baru juga menyediakan peralatan sepakbola.
Pengaruh Belanda dalam dunia sepak bola di Indonesia adalah adanya istilah henbal, trekbal (bola kembali), kopbal (sundul bola), losbal (lepas bola), dan tendangan 12 pas. Istilah beken itu kemudian memudar manakala demam bola Inggris dimulai sehingga istilah-istilah tersebut berganti dengan istilah persepakbolaan Inggris. Sementara itu, hingga 1950 masih terdapat pemain indo di beberapa klub Jakarta. Sebut saja Vander Vin di klub UMS; Van den Berg, Hercules, Niezen, dan Pesch dari klub BBSA. Pemain indo mulai luntur di tahun 1960-an
Perjalanan panjang PSSI sejak dipimpin oleh Ketua Umum pertama Ir. Soeratin pada 1930 hingga saat ini telah melalui berbagai hal. Dan di sepanjang perjalannya itu, PSSI seakan-akan kehabisan tinta emas untuk menorehkan prestasinya baik di tingkatan regional maupun internasional. Lolosnya Tim Nasional Indonesia (waktu itu bernama Dutch East Indies = Hindia Belanda ) ke ajang Piala Dunia 1938, pada saat itu Tim Nasional yang lolos tidak berada di bawah kendali PSSI, melainkan NIVU (Nederlandsche Indische Voetbal Unie) atau organisasi sepak bola Belanda di Jakarta, di bawah asuhan pelatih berkebangsaan Belanda Johannes Christoffel van Mastenbroek.
Di bawah PSSI melalui PT. Liga Indonesia (dahulu BLI) berlangsung beberapa tingkatankompetisi mulai dari Divisi I, Divisi Utama, dan yang paling atas adalah Liga Super Indonesia (LSI). Sebelumnya, sejarah panjang kompetisi di tanah air telah berlangsung sejak lama, diantaranya adala dualisme kompetisi Liga Sepakbola Utama (Galatama) yang mempertemukan team-team swasta non APBD dengan Liga Perserikatan, kemudian peleburan kedua liga tersebut menjadi Divisi-Divisi kompetisi yang terbagi dalam beberapa wilayah, hingga format kompetisi Liga Super Indonesia yang diikuti oleh 18 team dan menggunakan sistem kompetisi penuh (Home-Away).
Sejarah panjang yang membentuk kompetisi tersebut diikuti pula oleh sejarah panjang masing-masing team peserta Liga Super Indonesia. Sehingga masing-masing team peserta LSI disamping mengikuti kompetisi secara nasional, namun di bawahnya juga memiliki akademi pembinaan dan liga domestik yang diikuti oleh team-team binaan yang tersebar ke dalam wilayah-wilayah yang lebih kecil, sehingga bisa dikatakan bahwa kompetisi LSI dan tingkatan dibawahnya adalah sistem kompetisi yang memiliki dukungan yang masif dan disertai pula dengan sistem pembinaan yang telah berlangsung sejak lama.
Di tahun 2011 atau tahun ke 8 (delapan) kepemimpinan Ketua Umum PSSI paling kontroversial dan minim prestasi Nurdin Halid, muncul gelaran kompetisi lain yang disebut dengan Liga Primer Indonesia (LPI). Berdalih meneruskan hasil Kongres Sepakbola Nasional yang berlangsung di Malang, Jawa Timur tahun sebelumnya, kompetisi yang dimotori oleh raja minyak Arifin Panigoro ini diikuti oleh 19 team yang 15 diantaranya adalah team yang baru terbentuk dan notabene tidak atau belum memiliki sistem pembinaan dan dukungan suporter yang masif. Analisa dari berbagai pihak, kemunculan LPI adalah akumulasi dari kekecawaan terhadap PSSI pimpinan duet Nurdin Halid dan Nugraha Besoes.
Jauh sebelumnya, kemunculan PSSI dibawah pimpinan Ir. Soeratin berawal dari semangat nasionalisme dan kebangsaan ketika pada saat itu, organisasi sepakbola yang ada adalah organisasi sepakbola yang berdasarkan atas suku bangsa. Sehingga dengan semangat nasionalisme dan kebangsaan Ir. Soeratin membentuk PSSI yang memiliki tugas mulia untuk mempersatukan bangsa melalui sepakbola.
Kondisi persepakbolaan nasional yang minim prestasi dan kerapkali diwarnai dengan ketidakpuasan dan kecurigaan adanya ketidakjujuran dan minimnya sportifitas di dalam kompetisi dalam negeri mengundang seluruh pelaku dan pengamat sepakbola nasional untuk menyuarakan adanya reformasi Sepakbola Nasional. Kegerahan terhadap kondisi yang ada ini makin memuncak ketika Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menyerukan untuk dilangsungkannya Kongres Sepakbola Nasional yang diikuti tidak hanya oleh pelaku sepakbola yang terlibat didalam lapangan dan pengambil kebijakan dalam sistem sepakbola nasional,a akan tetapi juga diikuti oleh berbagai pihak dan elemen diluar itu yang respect terhadap kondisi sepakbola nasional, tidak terkecuali para jurnalis dan pengamat sepakbola.
Mandegnya hasil Kongres Sepakbola Nasional yang salah satunya menyerukan adanya reformasi membuat gerah para pihak terutama yang berada di luar sistem pengambil keputusan sepakbola nasional. Kegerahan dan kekecewaan itu semakin terakumulasi dan melibatkan banyak pihak termasuk taipan ternama Arifin Panigoro. Dengan menggelontorkan dana puluhan Milyar Rupiah, Arifin Panigoro yang juga dikenal penggila bola memotori jalannya LPI.
Berkiblat pada sistem kompetisi luar negeri khususnya eropa yang menganut sistem Industri Sepakbola dalam sistem kompetisinya, LPI digelar mulai 8 Januari 2011. Namun ada beberapa hal yang menurut pengamatan penulis lolos dari perhatian para penggagas LPI. Yang pertama adalah bahwa sistem kompetisi berbasis Industri Sepakbola di eropa adalah sistem kompetisi yang bersifat bottom up, sehingga setiap team yang mengikuti kompetisi telah masif sejak tingkatan bawah, mulai dari sistem pembinaan yang matang dan team-team binaannya, sehingga dengan dukungan (market) yang besar bisa dikatakan bahwa Industri akan berjalan dengan baik, karena sistem pasar akan berjalan dengan baik. Hal ini bertolak belakang dengan LPI yang lebih bersifat top down, dimana kompetisi ini bisa berjalan karena adanya kucuran dana yang luar biasa besar, dan sistem kendali yang tersentral di pusat. Yang kedua, sistem pembinaan sejak usia dini yang tidak atau belum diperhatikan dengan seksama di LPI mengancam masa depan masing-masing team, sehingga di khawatirkan LPI hanya akan menjadi industri, tanpa melahirkan dan membina sosok-sosok penuh talenta. Yang ketiga dan tidak kalah pentingnya, kucuran dana yang begitu besar akan memicu minat para pegiat proyek untuk mengajukan proposal proyek baru yaitu ......FC.
Seluruh elemen bangsa ini tentunya berharap ada 11 bintang lapangan hijau diantara 250juta rakyatnya yang berjuang memperjuangkan nama besar Indonesia di kancah Internasional. Hal tersebut tentunya memerlukan kerja keras dan ketulusan dari pihak-pihak terkait. Jika ada satu atau lebih orang yang tidak memiliki semangat kerja keras dan ketulusan berada di dalam suatu sistem, bukan berarti kemudian kita harus merombak dan merusak sistem tersebut. Semua pihak menyadari bahwa diperlukan adanya reformasi atau bahkan revolusi di tubuh PSSI, namun revolusi hanya akan berjalan jika di dukung secara masif dari bawah hingga keatas, bukan sebaliknya. (lek)
posted on : LPI, PSSI dan Reformasi Sepakbola Nasional
Nasionalisme, Kapitalisasi dan Politisasi Sepak Bola (Kajian Kritis Euforia Timnas dan Kemunculan LPI)
Antusiasme Calon Penonton Timnas di Piala AFF 2010 (pic by eftianto.wordpress.com)
Beberapa saat terakhir perhatian kita semua Bangsa Indonesia seolah-olah terpusatkan pada kiprah dan polah sebelas lelaki perkasa diatas lapangan hijau. Di bawah asuhan pelatih kawakan asal Austria, sebelas lelaki tersebut telah menyihir puluhan ribu pasang mata di stadion dan jutaan pasang mata lainnya melalui layar kaca. Hadirnya beberapa bintang naturalisasi dan rancaknya permainan team menjadi campuran resep yang mampu memikat siapapun yang menikmatinya.
Timnas Indonesia menjelang laga pada penyisihan AFF 2010 (Pict by PAS)
Kegagahan mereka diatas lapangan menarik antusiasme dan minat yang luar biasa dari anak bangsa ini. Berbondong-bondong merekapun berebut tiket pertandingan yang semula, bahkan hingga pertandingan penyisihan terakhir piala AFF 2010 88.000 kapasitas Stadion Utama Gelora Bung Karno hanya mampu terisi setengah lebih sedikit. Sedikit lebih banyak dari pertandingan Timnas sebelum euforia terjadi. Entah apa yang masyarakat tunggu, sehingga baru pada saat semifinal Stadion terbesar di Nusantara dan pernah menjadi yang terbesar di Asia Tenggara ini baru penuh sesak dengan atribut dan yel-yel mendukung Laskar Garuda.
Sejenak, setiap kali menjelang pertandingan dan saat penjualan tiket berlangsung, Sekitar SU GBK pun seolah-olah menjadi pusat keramaian baru di Jakarta. Lalu lalang crew Media, harapan menyaksikan pertandingan, dan kecemasan jika tidak mendapatkan tiket pertandingan menjadi pemandangan yang lumrah kita saksikan. Hal inipun dimanfaatkan dengan baik dan ahli oleh beberapa orang yang memiliki kepentingan pribadi untuk memperkaya diri sendiri. Disamping itu, ulasan di berbagai media tentang Team Merah Putih dan berbagai hal disekitarnya seolah membangunkan kembali rasa Nasionalisme kita yang seolah-olah telah tidur panjang.
Hadirnya Laskar Perkasa yang seolah-olah baru keluar dari kawah Chandradimuka seolah-olah menjadi harapan baru rakyat negeri ini yang tengah berada di tengah kondisi yang carut marut. Kondisi carut marut yang belum dapat diatasi oleh pemerintah mengakibatkan rakyat negeri ini mendambakan sosok pahlawan. Dan kemunculan Laskar Garuda yang gagah perkasa seolah-olah menjadi jawaban akan apa yang didambakan rakyat Zamrud Khatulistiwa ini.
Membuncahnya antusiasme masyarakat yang terjadi menjadi ketertarikan tersendiri bagi mereka yang memiliki hasrat, ambisi dan kepentingan. Dengan didukung oleh kekuasaan, akses, dan kekayaan yang dimiliki mencoba berbagai daya dan upaya untuk memanfaatkan situasi yang terjadi. Sepak Bola seolah-olah menjadi alat kampanye baru sekaligus alat untuk mencapai kepentingan tertentu yang efektif. Terlebih lagi dengan dukungan media nasional yang akan mendongkrak popularitas menjadi lebih efektif. Dengan sedikit tambahan bumbu, popularitas tersebut akan menjadi simpati dan pada saatnya nanti, akan dapat menjadi sebuah pilihan politik.
Hal tersebut diatas, mau tidak mau membagi energi dan konsetrasi para punggawa Laskar Garuda yang seharusnya memusatkan konsentrasi dan do’anya untuk menghadapi pertandingan selanjutnya menjadi terpecah-pecah dengan keterpaksaan untuk mengikuti dan menghadiri berbagai program dan acara yang disusun oleh rezim penguasa Perserikatan Sepakbola.
Sejatinya, Team Nasional adalah produk dari sebuah system yang kompleks dan panjang. Sebagaimana Sepak Bola sendiri, merupakan sebuah system yang melibatkan banyak hal dan banyak pihak. Di mulai dari pembinaan yang baik dan tersistem terhadap bibit-bibit berbakat anak negeri, kemudian diterjunkan dalam kompetisi berjenjang yang berkualitas, akan menghasilkan sebuah team berkualitas yang diisi oleh bakat-bakat yang terdidik dan memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi.
Di negeri ini, Sepak Bola sendiri seolah-olah sudah melampaui lebih dari sekedar batasan olah raga. Namun, sudah menjadi sebuah sub kultur tersendiri. Jika kita menengok kedalam, dalam kompetisi yang berlangsung, Team peserta kompetisi yang didalamnya memiliki sebuah system yang sudah berjalan bertahun-tahun termasuk diantaranya adalah pembinaan pemain usia dini, dan kompetisi internal, masing-masing team tersebut kemudian membentuk sebuah system yang lumrah kita kenal dengan “Liga”. Masing-masing peserta kompetisi tersebut yang dipisahkan oleh wilayah geografis juga memiliki dukungan dari masyarakat lokal dengan berbagai ciri khas dan keunikannya. Dukungan yang besar dan luar biasa, kerap kita menyebut dengan loyalitas dan fanatisme. Pada beberapa team peserta Liga, dukungan yang besar ini menjadi modal team untuk berpartisipasi dalam kompetisi. Sebut saja Arema Indonesia yang mengandalkan sebagian besar dana operasionalnya dalam mengikuti kompetisi dari pemasukan tiket suporter.
Pendek kata, sebuah kompetisi yang terbangun merupakan sebuah proses panjang bertahun-tahun dan dengan keterlibatan banyak pihak, serta bersifat bottom up. Agar kompetisi berjalan semakin baik maka perlu untuk ditangani secara lebih profesional, sehingga akan terjadi multiplayer effect yang baik. Misalkan, terbukanya ruang-ruang bisnis yang melibatkan dan menguntungkan banyak pihak termasuk team itu sendiri.
Ketika muncul sebuah wacana hadirnya sebuah kompetisi baru yang menggelontorkan dana hingga milyaran rupiah kepada masing-masing team peserta kompetisi, menimbulkan minat tersendiri bagi beberapa orang individu di beberapa daerah. Di tengah kondisi perekonomian negeri yang belum tertata dengan baik, kucuran dana milyaran rupiah tentunya akan menyebabkan air liur para pegiat proyek di daerah menetes deras. Dengan serta merta, Itikad baik untuk menciptakan liga yang sehat dengan mekanisme bisnis terkandung didalamnya disambut oleh para pegiat proyek didaerah dengan berlomba-lomba membuat team baru yang belum memiliki basis massa pendukung dan sistem pembinaan yang sistemik.
Dalam sekejap, puluhan klub baru bermunculan di berbagai daerah. Dan kucuran dana milyaran rupiahpun segera tersebar pula ke berbagai daerah. Mereka seolah-olah lupa bahwa system Kompetisi yang diciptakan mengkolaborasikan olah raga dan mekanisme bisnis yang berkelanjutan. Sehingga di dalamnya dibutuhkan pembinaan yang tersystem, antusiasme dan dukungan masyarakat yang memenuhi stadion sebagai pasar dari bisnis tersebut. Karena, sebuah Bisnis atau Usaha tanpa pasar hanya akan menjadi investasi merugi jangka pendek yang sia-sia dan dimanfaatkan dengan rakus oleh pegiat proyek untuk memperkaya diri sendiri. Dengan demikian Liga yang seharusnya menjadi Liga Primer hanya akan menjadi tak lebih dari Liga Proyek.
Kita semua tidak menutup mata, bahwa kompetisi yang sedang berjalan dibawah pengelolaan rezim yang menutup mata dan telinga terhadap kondisi dan tuntutan sekitar adalah kompetisi yang amat sangat tidak sehat. Namun, kompetisi ini telah berjalan bertahun-tahun dan telah berakulturasi dengan masyarakat, bahkan membentuk sub kultur tersendiri. Oleh karena itu, solusi untuk memperbaikinya bukanlah dengan membentuk system kompetisi baru yang diisi oleh klub-klub baru pula. Akan tetapi dengan mengurai secara perlahan dan satu persatu untuk mencari benang yang kusut. Ketika bagian yang kusut/rusak sudah ditemukan, tinggal kita lakukan upaya perbaikan atau jika tidak memungkinkan dilakukan pula pergantian spare part di beberapa bagian. (lek)
posted on : http://aremasenayan.com/2010/12/25/nasionalisme-kapitalisasi-dan-politisasi-sebak-bola-kajian-kritis-euforia-timnas-dan-kemunculan-lpi.php?preview=true&preview_id=1961&preview_nonce=4bf79a5cdf
Beberapa saat terakhir perhatian kita semua Bangsa Indonesia seolah-olah terpusatkan pada kiprah dan polah sebelas lelaki perkasa diatas lapangan hijau. Di bawah asuhan pelatih kawakan asal Austria, sebelas lelaki tersebut telah menyihir puluhan ribu pasang mata di stadion dan jutaan pasang mata lainnya melalui layar kaca. Hadirnya beberapa bintang naturalisasi dan rancaknya permainan team menjadi campuran resep yang mampu memikat siapapun yang menikmatinya.
Timnas Indonesia menjelang laga pada penyisihan AFF 2010 (Pict by PAS)
Kegagahan mereka diatas lapangan menarik antusiasme dan minat yang luar biasa dari anak bangsa ini. Berbondong-bondong merekapun berebut tiket pertandingan yang semula, bahkan hingga pertandingan penyisihan terakhir piala AFF 2010 88.000 kapasitas Stadion Utama Gelora Bung Karno hanya mampu terisi setengah lebih sedikit. Sedikit lebih banyak dari pertandingan Timnas sebelum euforia terjadi. Entah apa yang masyarakat tunggu, sehingga baru pada saat semifinal Stadion terbesar di Nusantara dan pernah menjadi yang terbesar di Asia Tenggara ini baru penuh sesak dengan atribut dan yel-yel mendukung Laskar Garuda.
Sejenak, setiap kali menjelang pertandingan dan saat penjualan tiket berlangsung, Sekitar SU GBK pun seolah-olah menjadi pusat keramaian baru di Jakarta. Lalu lalang crew Media, harapan menyaksikan pertandingan, dan kecemasan jika tidak mendapatkan tiket pertandingan menjadi pemandangan yang lumrah kita saksikan. Hal inipun dimanfaatkan dengan baik dan ahli oleh beberapa orang yang memiliki kepentingan pribadi untuk memperkaya diri sendiri. Disamping itu, ulasan di berbagai media tentang Team Merah Putih dan berbagai hal disekitarnya seolah membangunkan kembali rasa Nasionalisme kita yang seolah-olah telah tidur panjang.
Hadirnya Laskar Perkasa yang seolah-olah baru keluar dari kawah Chandradimuka seolah-olah menjadi harapan baru rakyat negeri ini yang tengah berada di tengah kondisi yang carut marut. Kondisi carut marut yang belum dapat diatasi oleh pemerintah mengakibatkan rakyat negeri ini mendambakan sosok pahlawan. Dan kemunculan Laskar Garuda yang gagah perkasa seolah-olah menjadi jawaban akan apa yang didambakan rakyat Zamrud Khatulistiwa ini.
Membuncahnya antusiasme masyarakat yang terjadi menjadi ketertarikan tersendiri bagi mereka yang memiliki hasrat, ambisi dan kepentingan. Dengan didukung oleh kekuasaan, akses, dan kekayaan yang dimiliki mencoba berbagai daya dan upaya untuk memanfaatkan situasi yang terjadi. Sepak Bola seolah-olah menjadi alat kampanye baru sekaligus alat untuk mencapai kepentingan tertentu yang efektif. Terlebih lagi dengan dukungan media nasional yang akan mendongkrak popularitas menjadi lebih efektif. Dengan sedikit tambahan bumbu, popularitas tersebut akan menjadi simpati dan pada saatnya nanti, akan dapat menjadi sebuah pilihan politik.
Hal tersebut diatas, mau tidak mau membagi energi dan konsetrasi para punggawa Laskar Garuda yang seharusnya memusatkan konsentrasi dan do’anya untuk menghadapi pertandingan selanjutnya menjadi terpecah-pecah dengan keterpaksaan untuk mengikuti dan menghadiri berbagai program dan acara yang disusun oleh rezim penguasa Perserikatan Sepakbola.
Sejatinya, Team Nasional adalah produk dari sebuah system yang kompleks dan panjang. Sebagaimana Sepak Bola sendiri, merupakan sebuah system yang melibatkan banyak hal dan banyak pihak. Di mulai dari pembinaan yang baik dan tersistem terhadap bibit-bibit berbakat anak negeri, kemudian diterjunkan dalam kompetisi berjenjang yang berkualitas, akan menghasilkan sebuah team berkualitas yang diisi oleh bakat-bakat yang terdidik dan memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi.
Di negeri ini, Sepak Bola sendiri seolah-olah sudah melampaui lebih dari sekedar batasan olah raga. Namun, sudah menjadi sebuah sub kultur tersendiri. Jika kita menengok kedalam, dalam kompetisi yang berlangsung, Team peserta kompetisi yang didalamnya memiliki sebuah system yang sudah berjalan bertahun-tahun termasuk diantaranya adalah pembinaan pemain usia dini, dan kompetisi internal, masing-masing team tersebut kemudian membentuk sebuah system yang lumrah kita kenal dengan “Liga”. Masing-masing peserta kompetisi tersebut yang dipisahkan oleh wilayah geografis juga memiliki dukungan dari masyarakat lokal dengan berbagai ciri khas dan keunikannya. Dukungan yang besar dan luar biasa, kerap kita menyebut dengan loyalitas dan fanatisme. Pada beberapa team peserta Liga, dukungan yang besar ini menjadi modal team untuk berpartisipasi dalam kompetisi. Sebut saja Arema Indonesia yang mengandalkan sebagian besar dana operasionalnya dalam mengikuti kompetisi dari pemasukan tiket suporter.
Pendek kata, sebuah kompetisi yang terbangun merupakan sebuah proses panjang bertahun-tahun dan dengan keterlibatan banyak pihak, serta bersifat bottom up. Agar kompetisi berjalan semakin baik maka perlu untuk ditangani secara lebih profesional, sehingga akan terjadi multiplayer effect yang baik. Misalkan, terbukanya ruang-ruang bisnis yang melibatkan dan menguntungkan banyak pihak termasuk team itu sendiri.
Ketika muncul sebuah wacana hadirnya sebuah kompetisi baru yang menggelontorkan dana hingga milyaran rupiah kepada masing-masing team peserta kompetisi, menimbulkan minat tersendiri bagi beberapa orang individu di beberapa daerah. Di tengah kondisi perekonomian negeri yang belum tertata dengan baik, kucuran dana milyaran rupiah tentunya akan menyebabkan air liur para pegiat proyek di daerah menetes deras. Dengan serta merta, Itikad baik untuk menciptakan liga yang sehat dengan mekanisme bisnis terkandung didalamnya disambut oleh para pegiat proyek didaerah dengan berlomba-lomba membuat team baru yang belum memiliki basis massa pendukung dan sistem pembinaan yang sistemik.
Dalam sekejap, puluhan klub baru bermunculan di berbagai daerah. Dan kucuran dana milyaran rupiahpun segera tersebar pula ke berbagai daerah. Mereka seolah-olah lupa bahwa system Kompetisi yang diciptakan mengkolaborasikan olah raga dan mekanisme bisnis yang berkelanjutan. Sehingga di dalamnya dibutuhkan pembinaan yang tersystem, antusiasme dan dukungan masyarakat yang memenuhi stadion sebagai pasar dari bisnis tersebut. Karena, sebuah Bisnis atau Usaha tanpa pasar hanya akan menjadi investasi merugi jangka pendek yang sia-sia dan dimanfaatkan dengan rakus oleh pegiat proyek untuk memperkaya diri sendiri. Dengan demikian Liga yang seharusnya menjadi Liga Primer hanya akan menjadi tak lebih dari Liga Proyek.
Kita semua tidak menutup mata, bahwa kompetisi yang sedang berjalan dibawah pengelolaan rezim yang menutup mata dan telinga terhadap kondisi dan tuntutan sekitar adalah kompetisi yang amat sangat tidak sehat. Namun, kompetisi ini telah berjalan bertahun-tahun dan telah berakulturasi dengan masyarakat, bahkan membentuk sub kultur tersendiri. Oleh karena itu, solusi untuk memperbaikinya bukanlah dengan membentuk system kompetisi baru yang diisi oleh klub-klub baru pula. Akan tetapi dengan mengurai secara perlahan dan satu persatu untuk mencari benang yang kusut. Ketika bagian yang kusut/rusak sudah ditemukan, tinggal kita lakukan upaya perbaikan atau jika tidak memungkinkan dilakukan pula pergantian spare part di beberapa bagian. (lek)
posted on : http://aremasenayan.com/2010/12/25/nasionalisme-kapitalisasi-dan-politisasi-sebak-bola-kajian-kritis-euforia-timnas-dan-kemunculan-lpi.php?preview=true&preview_id=1961&preview_nonce=4bf79a5cdf
Orkestra Raksasa itu bernama Aremania
Tidaklah berlebihan jika suporter dikatakan sebagai pemain ke-12. Karena pada dasarnya, kekuatan yang dimiliki massa dalam setiap sejarah peradaban tidaklah dapat di pungkiri lagi. Kemudian, jika kita melihat keberagaman dan nyanyian serta sorak sorai yang dikumandangkan, jika anda pernah sekali saja berada dalam stadion Kanjuruhan ketika penuh sesak dengan Aremania yang sedang memberikan pada team kebanggaannya Singo Edan di lapangan, maka saya yakin akan timbul ledakan emosional pada diri anda. Perasaan haru biru, kebanggaan, terlarut dalam emosional yang dalam, ibarat anda adalah seorang penggemar orkestra yang sedang menyaksikan orkestra terbaik dengan lagu-lagu klasik terbaik dan lakon terbaik pula.
Belum lagi teriakan yel aba-aba, tabuhan genderang dan teriakan komando sebagaimana layaknya serdadu dalam peperangan. Mengutip apa yang ditulis oleh YB. Mangun Wijaya (alm) dalam "Tentara dan Kaum Bersenjata" yang pada bagian awal bukunya banyak mengupas tentang apa yang dilakukan Hitler terhadap Serdadu Nazi. Melihat Hitler sendiri, disamping kemampuan strateginya, kemampuan lain yang paling utama yang dimiliki oleh seorang Adolf Hitler adalah kemampuan berorasi. Sebagai seorang orator yang ulung, dia memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dan mengendalikan psikologi massa. Di negeri ini, kita memiliki seorang Soekarno. Dimana, siapapun yang duduk mendengarkan orasi beliau akan terpuakau dan jatuh cinta pada pendengaran pertama. Kembali kepada Adolf Hitler, dia sangat menyadari keahliannya sebagai seorang orator ulung. Dan dia memiliki strategi dalam mempengaruhi massa. Secara psikologis, massa akan cenderung takjub melihat sesuatu yang anggun dan gagah, hal inilah yang dia bangun pada bala tentara Nazi. Dia penuhi segala kebutuhan atribut, lencana dan senjata, hal ini nampak sekali jika kita menyaksikan film Stallingard, perbedaan yang kontras sangat terlihat bagaimana cara berpakaian serdadu Jerman dan Rusia. Setelah dia lengkapi segala kebutuhan tersebut, dia kerahkan orang untuk melatih para serdadu keahlian dan ketrampilan menggunakan senjata (senam senjata). Dan dia kumpulkan massa dalam satu stadion untuk menyaksikan atraksi para serdadu tersebut berbaris dengan sepatu lapangan hingga menimbulkan bunyi yang menggetarkan, ketrampilan menggunakan senjata dan sekali-sekali di gerakkan hingga menimbulkan bunyi secara bersamaan. Dapat anda bayangkan jika anda berada dalam stadion tersebut, histeria, teriakan, dan tepukan tangan massa akan berbalik memberikan semangat serdadu yang beratraksi, sehingga dua kekuatan tersebut akan saling mendukung. Namun, tanpa disadari, damapak yang timbul adalah fanatisme massa yang menyaksikan kepada kekuatan serdadu dan kepercayaan serta kecintaan terhadap Fuhrer, sang pemimpin. Sebaliknya, apresiasi yang tinggi dari massa akan menimbulkan dampak yang sama terhadap serdadu, kepercayaan diri, dan kecintaan terhadap massanya menjadi semakin tinggi. Ya, sihir inilah yang dimainkan oleh seorang Adolf Hitler.
Kembali ke Stadion Kanjuruhan, dan Aremania yang memberikan dukungan kepada Singo Edan. Tentu saja, kondisi di Kanjuruhan tidak dapat disamakan dengan sihir Hitler. Akan tetapi, saya mencoba menarik benang merah dari psiklogi massa yang terbangun dan loyalitas pemain yang timbul. Saya lebih cenderung melihat Aremania di Kanjuruhan sebagai sebuah orkestra raksasa yang memberikan sihir yang lain. Jika pada orkestra biasa, sihir yang ditampilkan akan berdampak pada perasaan haru terhadap audiencenya. Akan tetapi, jika kita melihat yang terjadi di Kanjuruhan, yang terjadi justru sebaliknya, alunan nada yang ditampilkan orkestra raksasa bernama Aremania itu justru menimbulkan semangat tanding yang tinggi dan energi tambahan bagi para pemain. Sebaliknya, bagi team lawan, yang mereka rasakan justru sebaliknya, jika para pemain lawan tidakmemiliki mental bertanding dan mental juara yang tinggi, yang terjadi adalah rasa kecil hati dan merasa kalah sebelum bertanding. Hal ini sangat berbeda dengan jika orkestra raksasa itu menyanyikan lagu yang menyudutkan, menghina dan mencaci team lawan, yang timbul justru semangat dan mental bertanding yang tinggi akibat membela harga dirinya. Itu pula sebabnya, mengapa suporter yang banyak menyanyikan lagu sumbang justru berbuah boomerang bagi teamnya sendiri.
Oleh karena itu, tulisan ini sekaligus memberikan himbuan kepada nawak-nawak untuk terus menyanyikan lagu yang mendukung dan membuang lagu-lagu rasisme. Salam 1 Jiwa (lek.)
posted on : http://lapanganrumput.wordpress.com/2010/06/15/orkestra-raksasa-itu-bernama-aremania/
Belum lagi teriakan yel aba-aba, tabuhan genderang dan teriakan komando sebagaimana layaknya serdadu dalam peperangan. Mengutip apa yang ditulis oleh YB. Mangun Wijaya (alm) dalam "Tentara dan Kaum Bersenjata" yang pada bagian awal bukunya banyak mengupas tentang apa yang dilakukan Hitler terhadap Serdadu Nazi. Melihat Hitler sendiri, disamping kemampuan strateginya, kemampuan lain yang paling utama yang dimiliki oleh seorang Adolf Hitler adalah kemampuan berorasi. Sebagai seorang orator yang ulung, dia memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dan mengendalikan psikologi massa. Di negeri ini, kita memiliki seorang Soekarno. Dimana, siapapun yang duduk mendengarkan orasi beliau akan terpuakau dan jatuh cinta pada pendengaran pertama. Kembali kepada Adolf Hitler, dia sangat menyadari keahliannya sebagai seorang orator ulung. Dan dia memiliki strategi dalam mempengaruhi massa. Secara psikologis, massa akan cenderung takjub melihat sesuatu yang anggun dan gagah, hal inilah yang dia bangun pada bala tentara Nazi. Dia penuhi segala kebutuhan atribut, lencana dan senjata, hal ini nampak sekali jika kita menyaksikan film Stallingard, perbedaan yang kontras sangat terlihat bagaimana cara berpakaian serdadu Jerman dan Rusia. Setelah dia lengkapi segala kebutuhan tersebut, dia kerahkan orang untuk melatih para serdadu keahlian dan ketrampilan menggunakan senjata (senam senjata). Dan dia kumpulkan massa dalam satu stadion untuk menyaksikan atraksi para serdadu tersebut berbaris dengan sepatu lapangan hingga menimbulkan bunyi yang menggetarkan, ketrampilan menggunakan senjata dan sekali-sekali di gerakkan hingga menimbulkan bunyi secara bersamaan. Dapat anda bayangkan jika anda berada dalam stadion tersebut, histeria, teriakan, dan tepukan tangan massa akan berbalik memberikan semangat serdadu yang beratraksi, sehingga dua kekuatan tersebut akan saling mendukung. Namun, tanpa disadari, damapak yang timbul adalah fanatisme massa yang menyaksikan kepada kekuatan serdadu dan kepercayaan serta kecintaan terhadap Fuhrer, sang pemimpin. Sebaliknya, apresiasi yang tinggi dari massa akan menimbulkan dampak yang sama terhadap serdadu, kepercayaan diri, dan kecintaan terhadap massanya menjadi semakin tinggi. Ya, sihir inilah yang dimainkan oleh seorang Adolf Hitler.
Kembali ke Stadion Kanjuruhan, dan Aremania yang memberikan dukungan kepada Singo Edan. Tentu saja, kondisi di Kanjuruhan tidak dapat disamakan dengan sihir Hitler. Akan tetapi, saya mencoba menarik benang merah dari psiklogi massa yang terbangun dan loyalitas pemain yang timbul. Saya lebih cenderung melihat Aremania di Kanjuruhan sebagai sebuah orkestra raksasa yang memberikan sihir yang lain. Jika pada orkestra biasa, sihir yang ditampilkan akan berdampak pada perasaan haru terhadap audiencenya. Akan tetapi, jika kita melihat yang terjadi di Kanjuruhan, yang terjadi justru sebaliknya, alunan nada yang ditampilkan orkestra raksasa bernama Aremania itu justru menimbulkan semangat tanding yang tinggi dan energi tambahan bagi para pemain. Sebaliknya, bagi team lawan, yang mereka rasakan justru sebaliknya, jika para pemain lawan tidakmemiliki mental bertanding dan mental juara yang tinggi, yang terjadi adalah rasa kecil hati dan merasa kalah sebelum bertanding. Hal ini sangat berbeda dengan jika orkestra raksasa itu menyanyikan lagu yang menyudutkan, menghina dan mencaci team lawan, yang timbul justru semangat dan mental bertanding yang tinggi akibat membela harga dirinya. Itu pula sebabnya, mengapa suporter yang banyak menyanyikan lagu sumbang justru berbuah boomerang bagi teamnya sendiri.
Oleh karena itu, tulisan ini sekaligus memberikan himbuan kepada nawak-nawak untuk terus menyanyikan lagu yang mendukung dan membuang lagu-lagu rasisme. Salam 1 Jiwa (lek.)
posted on : http://lapanganrumput.wordpress.com/2010/06/15/orkestra-raksasa-itu-bernama-aremania/
15 Januari 2011
Semua Orang Penting
Sebuah kisah lama, saya lupa siapa yang menceritakannya, tapi kisah ini begitu inspiratif, dikisahkan sebagai berikut :
Alkisah, beberapa tahun yang silam, seorang pemuda terpelajar dari Malang sedang berpergian naik pesawat ke Jakarta. Di sampingnya duduk seorang ibu yang sudah berumur. Si pemuda menyapa, dan tak lama mereka terlarut dalam obrolan ringan.
”Ibu, ada acara apa pergi ke Jakarta?”, tanya si pemuda. “Oh… saya mau ke Jakarta terus “connecting flight” ke Singapore nengokin anak saya yang ke-2”, jawab ibu itu.
”Wow, hebat sekali putra ibu”, pemuda itu menyahut dan terdiam sejenak.
Pemuda itu merenung. Dengan keberanian yang didasari rasa ingin tahunya, pemuda itu melanjutkan pertanyaannya.
”Kalau saya tidak salah, anak yang di Singapore tadi, putra yang ke-2 ya bu? Bagaimana dengan kakak adik-adiknya?”
”Oh ya tentu”, si Ibu bercerita:
”Anak saya yang ke-3 seorang dokter di Malang, yang ke-4 kerja di perkebunan di Lampung, yang ke-5 menjadi arsitek di Jakarta, yang ke-6 menjadi kepala cabang bank di Purwokerto, yang ke-7 menjadi Dosen di Semarang.”
Pemuda tadi diam, hebat ibu ini, bisa mendidik anak-anaknya dengan sangat baik, dari anak ke-2 sampai ke-7.
”Terus bagaimana dengan anak pertama ibu?”
Sambil menghela napas panjang, ibu itu menjawab, ”Anak saya yang pertama menjadi petani di Godean Jogja, nak”. Dia menggarap sawahnya sendiri yang tidak terlalu lebar.”
Pemuda itu segera menyahut, “Maaf ya Bu……kalau ibu agak kecewa ya dengan anak pertama ibu, adik-adiknya berpendidikan tinggi dan sukses di pekerjaannya, sedangkan dia cuma menjadi petani.“
Dengan tersenyum ibu itu menjawab, ”Ooo, tidak, tidak begitu nak…justru saya sangat bangga dengan anak pertama saya, karena dialah yang membiayai sekolah semua adik-adiknya dari hasil dia bertani.”
Alkisah, beberapa tahun yang silam, seorang pemuda terpelajar dari Malang sedang berpergian naik pesawat ke Jakarta. Di sampingnya duduk seorang ibu yang sudah berumur. Si pemuda menyapa, dan tak lama mereka terlarut dalam obrolan ringan.
”Ibu, ada acara apa pergi ke Jakarta?”, tanya si pemuda. “Oh… saya mau ke Jakarta terus “connecting flight” ke Singapore nengokin anak saya yang ke-2”, jawab ibu itu.
”Wow, hebat sekali putra ibu”, pemuda itu menyahut dan terdiam sejenak.
Pemuda itu merenung. Dengan keberanian yang didasari rasa ingin tahunya, pemuda itu melanjutkan pertanyaannya.
”Kalau saya tidak salah, anak yang di Singapore tadi, putra yang ke-2 ya bu? Bagaimana dengan kakak adik-adiknya?”
”Oh ya tentu”, si Ibu bercerita:
”Anak saya yang ke-3 seorang dokter di Malang, yang ke-4 kerja di perkebunan di Lampung, yang ke-5 menjadi arsitek di Jakarta, yang ke-6 menjadi kepala cabang bank di Purwokerto, yang ke-7 menjadi Dosen di Semarang.”
Pemuda tadi diam, hebat ibu ini, bisa mendidik anak-anaknya dengan sangat baik, dari anak ke-2 sampai ke-7.
”Terus bagaimana dengan anak pertama ibu?”
Sambil menghela napas panjang, ibu itu menjawab, ”Anak saya yang pertama menjadi petani di Godean Jogja, nak”. Dia menggarap sawahnya sendiri yang tidak terlalu lebar.”
Pemuda itu segera menyahut, “Maaf ya Bu……kalau ibu agak kecewa ya dengan anak pertama ibu, adik-adiknya berpendidikan tinggi dan sukses di pekerjaannya, sedangkan dia cuma menjadi petani.“
Dengan tersenyum ibu itu menjawab, ”Ooo, tidak, tidak begitu nak…justru saya sangat bangga dengan anak pertama saya, karena dialah yang membiayai sekolah semua adik-adiknya dari hasil dia bertani.”
14 Januari 2011
Negeri yang Bikin Sakit Hati (Oleh : Reza Ervani)
Negeri yang Bikin Sakit Hati
Karena pemimpinnya sudah tak lagi punya nurani
Diganti, dijual dengan posisi sebuah kursi
Dan rakyat lugu yang selalu diimingi janji-janji
Negeri yang Bikin Sakit Hati
Punya presiden yang jagonya cuma basa-basi
Yang dipikirkan hanya pencitraan diri
Dan sensasi apa buat tivi besok pagi
Negeri yang Bikin Sakit Hati
Menterinya bilang setahun PLN tak pernah mati
Padahal lilin di warung pun tak tersisa lagi
Tambah stressnya data hilang mahasiswa yang sedang skripsi
Negeri yang Bikin Sakit Hati
Polisi, Hakim dan Jaksa bisa dibeli
Maling ayam dan pencopet digebuki
Sementara mafia di penjara dapat ruang Vi Ai Pi
Negeri yang Bikin Sakit Hati
Internet mahal dan operator monopoli
Sementara sang menteri sibuk ngurusin Blekberi
sambil update twitteran tiap hari
Negeri yang Bikin Sakit Hati
Pidato pejabatnya tentang peningkatan ekonomi
Tapi harga cabe melambung tak terbeli
Sementara petani tetap miskin gigit jari
Negeri yang Bikin Sakit Hati
Dinas Pendidikannya bikin RSBI
Biaya kuliah semakin tinggi
Sekolah tinggi hanya untuk jadi pegawai negeri
Negeri yang Bikin Sakit Hati
TKI di luar negeri disiksa sampai mati
Budaya bangsa dibajak tetangga sendiri
Presidennya malah sibuk bikin lagu nyaingin selebriti
Negeri yang Bikin Sakit Hati
Bahkan politikpun masuk ke PSSI
Bikin timnas mandul prestasi
Lalu sibuk bikin naturalisasi
Negeri yang Bikin Sakit Hati
Orang pajak sibuk bikin promosi
Orang pajak pula yang korupsi
Kataya di penjara tapi bisa nonton tenis di Bali
Negeri yang Bikin Sakit Hati
Jangan tanya kenapa sama penulis puisi ini
Tanya saja sama Aburizal Bakri atau Ibu Ani
Yang pengen jadi presiden baru nanti
Karena pemimpinnya sudah tak lagi punya nurani
Diganti, dijual dengan posisi sebuah kursi
Dan rakyat lugu yang selalu diimingi janji-janji
Negeri yang Bikin Sakit Hati
Punya presiden yang jagonya cuma basa-basi
Yang dipikirkan hanya pencitraan diri
Dan sensasi apa buat tivi besok pagi
Negeri yang Bikin Sakit Hati
Menterinya bilang setahun PLN tak pernah mati
Padahal lilin di warung pun tak tersisa lagi
Tambah stressnya data hilang mahasiswa yang sedang skripsi
Negeri yang Bikin Sakit Hati
Polisi, Hakim dan Jaksa bisa dibeli
Maling ayam dan pencopet digebuki
Sementara mafia di penjara dapat ruang Vi Ai Pi
Negeri yang Bikin Sakit Hati
Internet mahal dan operator monopoli
Sementara sang menteri sibuk ngurusin Blekberi
sambil update twitteran tiap hari
Negeri yang Bikin Sakit Hati
Pidato pejabatnya tentang peningkatan ekonomi
Tapi harga cabe melambung tak terbeli
Sementara petani tetap miskin gigit jari
Negeri yang Bikin Sakit Hati
Dinas Pendidikannya bikin RSBI
Biaya kuliah semakin tinggi
Sekolah tinggi hanya untuk jadi pegawai negeri
Negeri yang Bikin Sakit Hati
TKI di luar negeri disiksa sampai mati
Budaya bangsa dibajak tetangga sendiri
Presidennya malah sibuk bikin lagu nyaingin selebriti
Negeri yang Bikin Sakit Hati
Bahkan politikpun masuk ke PSSI
Bikin timnas mandul prestasi
Lalu sibuk bikin naturalisasi
Negeri yang Bikin Sakit Hati
Orang pajak sibuk bikin promosi
Orang pajak pula yang korupsi
Kataya di penjara tapi bisa nonton tenis di Bali
Negeri yang Bikin Sakit Hati
Jangan tanya kenapa sama penulis puisi ini
Tanya saja sama Aburizal Bakri atau Ibu Ani
Yang pengen jadi presiden baru nanti
Langganan:
Postingan (Atom)