Namun, sehabis menunaikan shalat magrib, nuraninya menyadarkan bahwa delima yang dilahap habis itu bukan miliknya dan tidak jelas halalnya. Artinya masih subhat.
Esok harinya, begitu terang tanah, Idris pun mulai berjalan menyusuri sungai menuju hulu. Dia mencari pohon delima yang ditanam orang di tepi sungai. Akhirnya dia menemui kebun delima di belakang sebuah rumah yang berhalaman bersih dan apik. Agaknya dia bertemu dengan semacam pesantren. Dengan mantap pemuda Idris mendatangi rumah pemilik kebun delima itu. Setelah sekadar basa-basi, Idris menyampaikan maksud kedatangannya. Dia memohon agar delima kentir kali yang kadung dimakannya itu dapat dihalalkan.
Al'Arif Billah pemilik kebun delima itu dikenal arif. Tanpa sungkan dia berkata, "Wah tidak bisa begitu. Ada syaratnya untuk mendapatkan halal itu. Kalau kamu sanggup memenuhi syarat saya, baru delima yang kamu makan itu halal. Bagaimana?" Pemuda Idris pun menyanggupi. "Begini. Untuk mendapatkan halal, kamu harus mengaji dan hidma (melayani) saya selama dua tahun, tanpa bayaran, kecuali makan gratis seadanya."
Begitulah, selama dua tahun pemuda Idris mengaji dan hidmah dengan ikhlas, demi memburu halal. Setelah dua tahun penuh, Idris menghadap pemilik kebun delima dan menuntut ikrar halal. Akan tetapi, orang tua itu masih belum berikrar. Bahkan memberi tambahan persyaratan. "Delima yang kamu makan saya halalkan kalau kamu mau menikahi putri saya. Tetapi sebelumnya kamu harus tahu, bahwa putri saya itu buruk rupa, lumpuh, buta, tuli dan bisu. Bagaimana?"
Tanpa pikir panjang, Idris menyanggupi. Lalu dinikahkanlah Idris dengan Fatimah-anak pemilik kebun delima-yang sampai dengan saat ijab nikah belum pernah dilihatnya . Dia meminta mas kawin aneh. Yaitu, mendidik berhias, melatih berjalan, menuntun perjalanan, membuatnya mendengar dan mengajari berbicara. "Ya saya, terima mas kawin tersebut," kabul Idris. Maka menikahlah Idris dengan Fatimah.
Usai itu, oleh mertuanya Idris dipersilakan masuk kamar pengantin. Seperti yang biasa dilakukan, begitu membuka tirai, Idris menyampaikan salam. Mendengar salam, gadis yang berada di kamar itu berdiri dan dengan lembut menjawab. Mata Idris hinggap pada wajah rupawan yang aduhai. Sejenak Idris termangu, kemudian dia berbalik menuju ruang utama menemui mertua. "Maaf Pak, Saya tidak menjumpai pengantin saya. Tidak ada perempuan yang bapak sebut. Saya hanya melihat seorang gadis muda yang bersuara merdu, bermata bagai kejora yang begitu saya uluksalami menjawab dengan lembut. Bagaimana ini?"
Sang mertua menjawab dengan senyum, "Itu memang pengantinmu. Dia buruk rupa, buktinya sampai sebesar itu belum laku. Dia lumpuh, artinya tidak pernah mau pergi ke mana-mana. Dia buta dari keindahan dunia di luar rumah. Dia tuli dari mendengar pergunjingan tetangga, dan bisu karena tidak mau sembarang berbicara. Itulah dia, Nak. Kami titipkan anakku Fatimah untuk kamu bimbing," kata Al 'Arif Billah.
Kelak, lahirlah seorang mujtahid besar bernama Mohammad bin Idris Asy-Syafi'iy yang mazhabnya dijalankan oleh hampir semua muslim di negara-negara ASEAN.
Itulah barangkali perlunya perut kita tidak sembarangan dijejali makanan yang diragukan kehalalanya. Nafsu kita memasukan makanan ke dalam perut kita-apakah hasil curian, korupsian, penipuan atau lainnya-kalau belum jelas milik sendiri, seharus- harusnya dihindari. Dengan begitu kelak akan lahir-generasi sesudah kita-generasi andalan, bukan generasi narkotika dan shabu.
* KH Cholil Bisri, Pengasuh Pesantren Roudhlotul Tholibin Rembang, Jawa Tengah.
--------------------------
© C o p y r i g h t 1 9 9 8 Harian Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tak Komen....