Mengenai Saya

Foto saya
Jakarta, DKI, Indonesia
Abdullah Hariri (Hamba Allah yang lembut) demikian bapakku berharap seperti apa aku. Kakekku yang bijakpun tak lupa menyertakan harapannya terhadapku dengan menghadiahkan sebuah nama Moenir (yang bersinar terang). Lahir dan besar di tanah pemberani, dibesarkan oleh seorang penjual minyak tanah yang bijak,menjadi piatu sejak usia 2 tahun, namun tak pernah lepas dari kasih sayang orang tua...

30 Maret 2010

KH Zainul Arifin, Kyai Pejuang yang terlupakan...

Riwayat hidup

Masa Kanak-Kanak dan Pendidikan

Zainul Arifin lahir sebagai anak tunggal dari keturunan raja Barus, Sultan Ramali bin Tuangku Raja Barus Sultan Sahi Alam Pohan dengan perempuan bangsawan asal Kotanopan, Mandailing, Siti Baiyah boru Nasution.

Ketika Zainul masih balita kedua orangtuanya bercerai dan ia dibawa pindah oleh ibunya ke Kotanopan, kemudian ke Kerinci, Jambi. Di sana ia menyelesaikan HIS (Hollands Indische School) dan sekolah menengah calon guru, Normal School. Selain itu, Arifin juga memperdalam pengetahuan agama di Madrasah di surau dan saat menjalani pelatihan seni bela diri Pencak Silat. Arifin juga seorang pecinta kesenian yang aktif dalam kegiatan seni sandiwara musikal melayu, Stambul Bangsawan sebagai penyanyi dan pemain biola. Stambul Bangsawan merupakan awal perkembangan seni panggung sandiwara modern Indonesia. Dalam usia 16 tahun Zainul merantau ke Batavia (Jakarta).

Dari Gemeente ke GP Ansor

Berbekal ijazah HIS Arifin diterima bekerja di pemerintahan kotapraja kolonial (Gemeente) sebagai pegawai di Perusahaan Air Minum (PAM) di Pejompongan Jakarta Pusat. Di sana ia sempat bekerja selama lima tahun, sebelum akhirnya terkena PHK saat resesi global yang bermula di AS dan berdampak hingga ke wilayah Hindia Belanda. Keluar dari gemeente Arifin kemudian memilih bekerja sebagai guru sekolah dasar dan mendirikan pula balai pendidikan untuk orang dewasa, Perguruan Rakyat, di kawasan Meester Cornelis (Jatinegara sekarang). Zainul juga sering memberi bantuan hukum bagi masyarakat Betawi yang membutuhkan sebagai tenaga Pokrol Bambu, pengacara tanpa latar belakang pendidikan Hukum namun menguasai Bahasa Belanda. Selain itu ia pun aktif kembali dalam kegiatan seni sandiwara musikal tradisional Betawi yang berasal dari tradisi Melayu, Samrah. Ia sempat mendirikan kelompok samrah bernama Tonil Arifin. Dari kegiatan kesenian ini ia berkenalan dan selanjutnya sangat akrab bersahabat dengan tokoh perfilman nasional, Jamaluddin Malik yang kala itu juga bergiat dalam kegiatan Samrah. Kedua mereka kemudian bergabung dengan Gerakan Pemuda (GP) Ansor yang ketika itu memang aktif merekrut tenaga-tenaga muda.

Selama menjadi anggota GP Ansor inilah Arifin kemudian semakin meningkatkan pengetahuan agama dan ketrampilan berdakwahnya sebagai muballigh muda lewat pelatihan-pelatihan khas Ansor. Kepiawaian Zainul dalam berpidato, berdebat dan berdakwah ternyata menarik perhatian tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama, organisasi induk Ansor termasuk: Wahid Hasyim, Mahfudz Shiddiq, Muhammad Ilyas, dan Abdullah Ubaid. Hanya dalam beberapa tahun saja, Zainul Arifin sudah menjadi Ketua Cabang NU Jatinegara dan berikutnya sebagai Ketua Majelis Konsul NU Batavia. dan bekerja di perusahaan air minum (PAM) pemerintah kotapraja (gemeente). Di kota ini ia juga sempat menjadi guru sekolah di daerah-daerah Jatinegara dan Bukit Duri Tanjakan. Selain itu Arifin pernah pula menjalani profesi pokrol bambu, pengacara bumiputra yang tidak memerlukan pendidikan hukum formal. Tahun 1930-an ia mulai bergabung dengan Gerakan Pemuda Ansor dan beberapa tahun kemudian sudah aktif di organisasi induk NU, mula-mula sebagai Ketua Cabang Jatinegara dan akhirnya diamanahi sebagai ketua Majelis Konsul NU Jakarta hingga datangnya tentara Jepang tahun 1942.

Menjadi Panglima Hizbullah Masyumi

Selama era pendudukan militer Jepang, Zainul Arifin ikut mewakili NU dalam kepengurusan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) dan terlibat dalam pembentukan pasukan semi militer Hizbullah.

Untuk menarik simpati warga hingga ke pedesaan, organisasi-organisasi Islam (utamanya NU) diberi kesempatan untuk lebih aktif terlibat dalam pemerintahan di bawah pendudukan militer Jepang. Zainul Arifin ditugaskan untuk membentuk model kepengurusan tonarigumi, cikal bakal Rukun Tetangga, di Jatinegara yang kemudian dibentuk pula hingga ke pelosok-pelosok desa di Pulau Jawa. Ketika Perang Asia Pasifik semakin memanas, Jepang mengizinkan dibentuknya laskar-laskar semi militer rakyat. Pemuda-pemuda Islam direkrut lewat jalur tonarigumi membentuk Hizbullah (Tentara Allah). Arifin dipercaya sebagai Panglima Hizbullah dengan tugas utama mengkoordinasi pelatihan-pelatihan semi militer di Cibarusa, dekat Bogor. Dalam puncak kesibukan latihan perang guna mengantisipasi terjadinya Perang Asia Pasifik, Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 di Jakarta.

Pasca Proklamasi Kemerdekaan

Zainul kemudian bertugas mewakili partai Masyumi di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), cikal bakal DPR-MPR, sambil terus memegang tampuk pimpinan Hizbullah yang sudah menjelma menjadi pasukan bersenjata. Selama masa Revolusi, selain mengikuti sidang-sidang BP KNIP yang berpindah-pindah tempat karena kegawatan situasi, Arifin juga memimpin gerakan-gerakan gerilya Laskar Hizbullah di Jawa Tengah dan Jawa Timur selama Agresi Militer I dan II. Dalam memimpin Laskar Hizbullah Zainul menggunakan jalur tonarigumi atau Rukun Tetangga yang dulu dibinanya hingga meliputi desa-desa terpencil di Jawa. Saat terjadi Agresi Militer II bulan Desember 1948, Belanda berhasil menjatuhkan Yogyakarta dan menawan Sukarno-Hatta. Dalam keadaan darurat, BP KNIP praktis tidak berfungsi. Arifin lantas terlibat sebagai anggota Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa (KPPD), bagian dari Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berkedudukan di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.

Tugas utama Zainul melakukan konsolidasi atas badan-badan perjuangan yang melancarkan taktik gerilya di bawah komandan Jenderal Sudirman. Saat pemerintah melebur segenap pasukan bersenjata ke dalam satu wadah Tentara Nasional Indonesia, Zainul Arifin sempat dipercaya sebagai Sekertaris Pucuk Pimpinan TNI. Namun akhirnya, ketika banyak mantan anggota laskar Hizbullah yang dinyatakan tidak bisa diterima menjadi anggota TNI karena tidak berpendidikan "modern" dan hanya lulusan Madrasah, ia memilih mengundurkan diri dan berkonsentrasi meneruskan perjuangan sipil di jalur politik.

Berkiprah di Legislatif dan Eksekutif

Setelah Belanda akhirnya mengakui kedaulatan RI akhir tahun 1949, Zainul Arifin kembali ke Parlemen sebagai wakil Partai Masyumi di DPRS dan kemudian wakil Partai NU ketika akhirnya partai kiai tradisionalis ini memisahkan diri dari Masyumi tahun 1952. Setahun sesudahnya, Arifin berkiprah di lembaga eksekutif dengan menjabat sebagai wakil perdana menteri (waperdam) dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo I yang memerintah dua tahun penuh (1953-1955).

Untuk pertama kalinya dalam sejarah NU, tiga jabatan menteri (sebelumnya NU selalu hanya mendapat jatah satu posisi menteri saja) dijabat tokoh-tokoh NU dengan Zainul Arifin sebagai tokoh NU pertama menjabat sebagai waperdam. Kabinet itu sendiri sukses menyelenggarakan Konfrensi Asia Afrika di Bandung. Dalam tahun 1955 itu pula Zainul berangkat haji untuk pertama dan terakhir kali ke Tanah Suci bersama Presiden Sukarno. Di sana ia dihadiahi sebilah pedang berlapis emas oleh Raja Arab Saudi, Raja Saud. Sekembalinya dari sana Zainul merupakan salah satu tokoh penting yang berhasil menempatkan partai NU ke dalam "tiga besar" pemenang pemilu 1955, dimana jumlah kursi NU di DPR meningkat dari hanya 8 menjadi 45 kursi. Selain kembali ke parlemen sebagai wakil ketua I DPR RI, setelah pemilu 1955, Arifin juga mewakili NU dalam Majelis Konstituante hingga lembaga ini dibubarkan Sukarno lewat dekrit 5 Juli 1959 karena dipandang gagal merumuskan UUD baru. Pasca Dekrit, Indonesia dinyatakan kembali ke UUD 1945 dan memasuki era Demokrasi Terpimpin. Pada masa itu terjadi pemusatan kekuasaan pada diri Presiden yang berkeras untuk menerapkan faham NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis) yang menyudutkan partai-partai agama yang tidak ingin Partai Komunis Indoesia (PKI) berkembang di Indonesia. Salat Id Berdarah

Dalam situasi politik yang semakin memanas di seluruh negeri, Sukarno sempat bersitegang dengan DPR hingga akhirnya Presiden membubarkan lembaga perwakilan rakyat hasil pemilu tersebut dan membentuk DPR-GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong). Partai Islam Masyumi juga diberangus sehingga praktis tinggal NU partai besar Islam yang tinggal. Zainul Arifin menerima penunjukan sebagai Ketua DPRGR karena yakin untuk mengadang gerakan komunisme di pemerintahan adalah dengan tetap berada di dalam sistem pemerintahan yang sedang berlangsung. Hingga 14 Mei 1962, ketika sedang melakukan salat Idul Adha berjamaah sederetan dengan Presiden di lapangan terbuka depan Istana Negara, Arifin terkena tembakan di dadanya oleh pemberontak DI/TII yang mencoba membunuh Sukarno. Meskipun media massa dalam melaporkan kejadian itu menyatakan Arifin hanya "terluka sangat ringan", namun nyatanya kesehatan Zainul tidak pernah pulih sejak insiden tersebut. Berkali-kali ia keluar masuk rumah sakit dan sepuluh bulan kemudian, tepatnya 2 Maret 1963, akhirnya meninggal dunia setelah mengalami koma selama beberapa hari sebelumnya karena berbagai komplikasi. Keesokan harinya di bawah guyuran hujan lebat, jasadnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata di Jakarta.(*)

Hingga menjelang penyerahan kedaulatan pada 1949 Zainul memimpin pasukan tempur golongan Islam tersebut bergerilya di pelosok-pelosok Jawa Timur dan Jawa Tengah. Ketika Tentara Nasional Indonesia (TNI) akhirnya menyatukan seluruh kekuatan militer Indonesia ia sempat diangkat sebagai sekertaris pucuk pimpinan TNI sebelum akhirnya mengundurkan diri dari dinas ketentaraaan untuk berkonsentrasi di jalur politik sipil pada 1950.

Karir politik

Zainul Arifin bersama Sukarno di Mesjid Leningrad Russia 1960

Sejak proklamasi kemerdekaan Zainul Arifin langsung duduk dalam Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), cikal bakal lembaga legislatif MPR/DPR. Hingga akhir hayatnya Arifin aktif di parlemen mewakili partai Masyumi dan kemudian partai NU setelah NU keluar dari Masyumi pada 1952. Hanya selama 1953-1955 ketika menjabat sebagai wakil perdana menteri dalam kabinet Ali-Arifin (Kabinet Ali Sastroamijoyo I) Zainul terlibat dalam badan eksekutif. Kabinet di era Demokrasi Parlementer ini sukses menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955.

Pemilu pertama 1955 mengantar Zainul Arifin sebagai anggota Majelis Konstituante sekaligus wakil ketua DPR sampai kedua lembaga dibubarkan Sukarno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.Memasuki era Demokrasi Terpimpin itu, Arifin bersedia mengetuai DPR Gotong Royong (DPRGR) sebagai upaya partai NU membendung kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI) di parlemen. Ditengah meningkatnya suhu politik, pada 14 Mei 1962, saat salat Idul Adha di barisan terdepan bersama Sukarno, Zainul tertembak peluru yang diarahkan seorang pemberontak dalam percobaannya membunuh presiden. Zainul Arifin akhirnya wafat 2 Maret 1963 setelah menderita luka bekas tembakan dibahunya selama sepuluh bulan.

Kongres Sepak Bola Nasional, kenapa harus di Malang?

Melihat prestasi Tim Nasional sepakbola kita, tentunya patut jika kita selaku warga negara prihatin, malu, kecewa, dan campur aduk perasaan yang lainnya. Meskipun belum pernah menjadi jawara ataupun yang terbaik di pentas dunia, bahkan di Asia, tapi setidaknya kita pernah lebih baik dari beberapa negara yang notabene sekarang lebih baik dari kita, bahkan yang dulunya menjadikan Indonesia sebagai soko guru dalam berbagai hal, termasuk Sepak Bola.

Bukan hanya itu, carut marutnya pelaksanaan kompetisi dalam negeri, pembinaan yang tidak berjalan dengan baik, kerusuhan suporter yang tidak pernah berhenti, infrastruktur yang tidak memadai, dan masih banyak hal lainnya yang menjadi keprihatinan kita.

Keprihatinan itu rupanya tidak hanya dirasakan oleh masyarakat saja, akan tetapi juga orang nomor satu di negeri ini. Puncaknya, ketika menerima kunjungan Piala Dunia di Jakarta, Presiden berpendapat bahwa permasalahan Sepak Bola sudah menjadi sangat pelik, dan tingkat urgensinya menjadi sangat tinggi untuk diselesaikan. Oleh karenanya, kemudian atas dasar berbagai keprihatinan tersebut, RI I menginstruksikan untuk melaksanakan Kongres Sepak Bola Nasional di Malang.

Pemilihan lokasi di Malang menjadi bagian tak terpisahkan dari instruksi RI I. Sebagai putra daerah yang lahir dan besar di Kota Malang, tentunya saya sangat bangga Bapak Presiden menunjuk Kota Malang sebagai Tuan Rumah pelaksanaan KSN. Namun pertanyaan saya, kenapa harus Malang, sementara banyak tempat dan banyak daerah yang memiliki aksesibilitas, fasilitas, infrastruktur, sarana dan prasarana yang jauh lebih memadai, seperti Jakarta, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, atau yang lain. Mereka memiliki Bandara yang lebih bagus, memiliki hotel berbintang yang lebih baik untuk menampung para pejabat yang direncanakan akan dihadiri oleh Presiden Sendiri, Jajaran Kabinet, Para Gubernur, Pengusaha, dan juga pemerhati dan stake holder sepak bola lainnya. Dan satu lagi, Presiden juga mengagendakan untuk menyaksikan secara langsung laga kandang Arema Indonesia yang kebetulan (dengan sedikit modifikasi jadwal) akan bertanding melawan Laskar Sipitung Persitara Jakarta Utara. Toh, kalau hanya untuk menyaksikan pertandingan Sepak Bola ISL, setiap saat Presiden bisa berangkat ke GBK Senayan untuk menyaksikannya, tentunya Jakarta sebagai Ibu Kota akan lebih siap dengan berbagai protokoler standart pengamanan VVIP. Namun, kenapa harus Malang?

Pikiran usil saya menjawab, barangkali Presiden kangen dengan sayur lodeh, atau barangkali Presiden penasaran mendengar kreatifitas suporter Arema (Aremania) sekaligus tingginya nasionalisme Aremania yang selalu menyanyikan lagu Padamu Negeri setiap akan mengawali laga (dan ini hanya ada di Kandang Singa), atau barangkali presiden tertarik melihat barisan ular-ularan sehingga beliaupun ingin ikut mengantri tiket, atau barangkali lagi Presiden melihat bahwa Malanglah yang layak untuk menjadi barometer sepakbola Nasional, karena saat ini beberapa Klub asal Malang telah membuktikan prestasinya, Arema Indonesia dengan Young Guns nya masih di puncak klasemen, Persema juga masih di papan atas (meskipun sedikit bergeser ketengah), Metro FC Persekam Kabupaten Malang, juga sukses menjuarai Divisi I, dan di tambah lagi Malang Raya mempunyai suporter yang fanatik tapi tidak anarkis, yang selalu memenuhi stadion tapi tidak dengan tiket diskon apalagi Bondo Nerombol.

Dan masih banyak hal lagi yang bisa menjadi dasar dipilihnya Malang sebagai tuan rumah KSN. Dan saya tidak ingin menyimpulkan, tetaplah pikiran kreatif kita bebas, tetaplah kita masing-masing mempunyai alasan tersendiri kenapa harus Malang, yang harus menjadi perhatian kita bersama sekarang bukan lagi kenapa harus di Malang, tetapi bagaimana KSN bisa menghasilkan rekomendasi yang tok cer untuk PSSI agar tidak terus menerus mempermalukan bangsa ini dengan kekalahan dan kekalahan.

Yang harus kita perhatikan lagi adalah mengawal hasil-hasil KSN agar benar-benar dilaksanakan oleh PSSI, sehingga KSN yang sudah dari jauh-jauh hari ramai di gembar gemborkan, yang dari jauh-jauh hari marak diberitakan dan di bahas dalam berbagai kolom, debat, dan topik khusus tidak hanya menjadi Tong Kosong yang Nyaring Bunyinya. Hanya ramai di permukaan, dan kosong pada tahap pelaksanaannya. Itulah yang menjadi tugas kita semua, tetap mengawal segala hasil dari proses KSN.

Salam 1 Jiwa

29 Maret 2010

Universalitas Arema Jilid II

Saat ini, bagi seluruh warga Malang Raya baik yang berada di kota Malang ataupun di luar kota Malang, Arema Indonesia seolah menjadi bahan pembicaraan yang tidak ada habisnya. Prestasi Arema Indonesia yang tetap berada sebagai pemuncak klasemen, di satu sisi menjadi kebanggaan bagi kita semua, dan hal ini berdampak dengan semakin diminatinya setiap pertandingan Arema Indonesia dimanapun berlaga, bahkan pertandingan tandang terakhir di Palembang, konon kabarnya pertandingan melawan Arema Indonesia adalah pertandingan dengan rekor terbanyak selama Sriwijaya FC beranding di Palembang (sekitar 15rb Penonton).

Disisi lain, kontribusi suporter (Aremania) yang luar biasa, menjadi pangsa pasar tersendiri bagi perekonomian kota Malang (sayang masih belum berimbas banyak ke sponsor). Penjualan segala macam atribut yang terkait dengan Arema Indonesia meningkat drastis, omzet penjual mulai kaos, stiker, mulai yang di jual ritel di pinggir jalan, pasar, distro, kios, bedak, sampai yang di jual online seolah tak pernah lelah menguras kantung pembeli.

Menengok Aremania sendiri, di Malang Raya, jauh sebelum musim ISL 2009/2010, Arema dan Aremania telah menjadi subkultur tersendiri bagi masyarakat Malang Raya. Nama team "Arema" yang di artikan sebagai "Arek Malang" telah menjadi identitas bagi masyarakat Malang Raya dimanapun berada. Terlebih lagi dengan bahasa pergaulan yang mereka miliki dan identik atau di kenal dengan boso walikan, seolah mempertegas identitas ini. Namun jika kita tengok lebih dalam lagi, apakah Aremania ini hanya identik dengan masyarakat Malang Raya? ternyata tidak, selain masyarakat asli dari Malang Raya, simpatisan Arema atau yang menyebut dirinya dengan Aremania/ta tidak hanya berasal dari warga asli Malang Raya ataupun keturunan Malang. Banyak kita melihat beberapa orang yang notabene bukan orang Malang, dan bahkan belum pernah ke Malang, adalah Aremania/ta. Suatu fenomena yang unik tentunya, jika Hotman Siahaan, seorang sosiolog Universitas Airlangga yang mengatakan bahwa kultur sepakbola di Indonesia berangkat dari primordialisme (http://beritajatim.com/detailnews.php/5/Olahraga/2010-03-28/60111/Sepakbola_Indonesia_Gamang). Namun yang menjadi titik tekan kita adalah, apa yang menjadi magnet bagi sebagian masyarakat dari luar Malang untuk menjadi Simpatisan klub asal kota Malang?

Ada beberapa hal yang dapat menjadi bahan analisa kita.
  1. Kreatifitas Aremania. Dalam setiap laga kandang dan tandang, dimana Aremania selalu memberikan dukungan dalam bentuk atraksi yang menarik, nyanyian dan lagu2 yang memberikan semangat dan menghibur, tarian yang atraktif.
  2. Sportifitas Aremania. Kalah dan menang adalah bagian dari permainan, dan setiap kemenangan adalah kado terindah bagi Aremania, sedangkan kekalahan bukanlah menjadi alasan untuk membuat ulah dan kerusuhan seperti yang dilakukan beberapa kelompok suporter lain dan uniknya, media seolah-olah sangat hobi sekali untuk mengekspose hal hal semacam ini (kerusuhan suporter) dibanding persahabatan suporter.
  3. Pesan Damai. Aremania selalu membuka tangan lebar-lebar bagi siapapun suporter team Tamu yang berkunjung ke Malang. Dan hal ini tentunya berbalas dengan sambutan meriah mereka jika Aremania berkunjung. Lambat laun, hal ini menjalin persahabatan yang semakin meluas, sehingga hampir di semua tempat di negeri ini, Aremania adalah sahabat yang baik. Mereka datang dengan damai, membeli tiket dengan tertib, dan pulang tanpa meninggalkan jejak kerusuhan.
Dan tentunya masih ada daftar yang lebih panjang untuk menjadi alasannya. Akan tetapi yang dapat kita lihat saat ini, bahwa Aremania tidak hanya mempersempit Indonesia dalam satu stadion Kanjuruhan saja (Baca Universalitas Arema Jilid I), akan tetapi Aremania telah menerjemahkan arti sebenarnya dari Bhinneka Tunggal Ika. Di dalam stadion kita mendukung team yang berbeda, namun di luar stadion kita adalah saudara. Dan dari sini, dapat kita tarik bahwa lagu "Padamu Negeri" yang dinyanyikan di Kandang Singa setiap Arema akan berlaga tidak hanya menjadi lagu kosong yang hanya sekedar di nyanyikan, akan tetapi bentuk aktualisasinya telah dilakukan dalam pola pemikiran, pola laku, dan pola tindak.

Semoga, dalam Kongres Sepak Bola Nasional yang sesaat lagi akan di gelar di Malang, semangat inipun menjadi semangat dasar, dimana setiap Stake Holder Sepak Bola Nasional bisa duduk dalam satu meja, melepaskan ego primordialisme, profesionalisme, jabatanisme, popularitasisme, dan isme isme yang lain dan hanya menyisakan satu itikad baik untuk memperbaiki Sepak Bola Nasional yang saat ini benar-benar carut marut.

Selamat Berkongres, dan jayalah Sepak Bola Indonesia.
Salam Satu Jiwa

01 Maret 2010

Nasehat Al-Ghazali

Suatu hari, Imam Al-Ghozali berkumpul dengan muridmuridnya.
Lalu Imam Al-Ghozali bertanya:

Pertama, "Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?" Murid-muridnya menjawab, "Orang tua, guru, kawan dan sahabat." Imam Ghozali menjawab, “Semua jawaban itu benar, tetapi yang paling dekat dengan kita adalah mati.”

Kedua, "Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?" Murid-muridnya menjawab, "Negara Cina, bulan,
matahari dan bintangbintang." Imam Ghozali menjelaskan, “Semua jawaban itu adalah benar, tapi sebenarnya yang paling jauh dari kita adalah masa lalu.”

Ketiga, "Apa yang paling besar di dunia ini?" Murid muridnya menjawab, "Gu nu ng, bumi dan matahari". “Semua jawaban itu benar,” kata Imam Ghozali, “tapi yang paling besar dari yang ada di dunia
ini adalah nafsu.”

Keempat, "Apa yang paling berat di dunia ini?" Ada yang menjawab, "Besi dan gajah." “Semua jawaban adalah benar,” kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah memegang amanah.”

Kelima. "Apa yang paling ringan di dunia ini?" Ada yang menjawab "Kapas, angin, debu dan daun-daunan." “Semua itu benar,” kata Imam Ghozali, “tapi yang paling ringan di dunia ini ada lah men inggalkan sholat.”

Keenam. "Apakah yang paling tajam di dunia ini?" Murid-muridnya menjawab dengan serentak, "Pedang." ”Benar,” kata Imam Ghozali, ”tapi yang paling tajam adalah lidah manusia.”

Perjuangan Menuju Halal

SYAHDAN, ketika pemuda Idris duduk termangu di bawah kerindangan pohon di tepi sungai, adzan magrib pertanda berbuka puasa terdengar sayup berkumandang. Tanpa ikhtiar matanya melihat sebuah delima merekah bertengger di bibir sungai. Lapar dan dahaga menghentikan laju akal beningnya. Tangannya pun segera menggapai delima dan dengan lahap memakannya habis.

Namun, sehabis menunaikan shalat magrib, nuraninya menyadarkan bahwa delima yang dilahap habis itu bukan miliknya dan tidak jelas halalnya. Artinya masih subhat.

Esok harinya, begitu terang tanah, Idris pun mulai berjalan menyusuri sungai menuju hulu. Dia mencari pohon delima yang ditanam orang di tepi sungai. Akhirnya dia menemui kebun delima di belakang sebuah rumah yang berhalaman bersih dan apik. Agaknya dia bertemu dengan semacam pesantren. Dengan mantap pemuda Idris mendatangi rumah pemilik kebun delima itu. Setelah sekadar basa-basi, Idris menyampaikan maksud kedatangannya. Dia memohon agar delima kentir kali yang kadung dimakannya itu dapat dihalalkan.

Al'Arif Billah pemilik kebun delima itu dikenal arif. Tanpa sungkan dia berkata, "Wah tidak bisa begitu. Ada syaratnya untuk mendapatkan halal itu. Kalau kamu sanggup memenuhi syarat saya, baru delima yang kamu makan itu halal. Bagaimana?" Pemuda Idris pun menyanggupi. "Begini. Untuk mendapatkan halal, kamu harus mengaji dan hidma (melayani) saya selama dua tahun, tanpa bayaran, kecuali makan gratis seadanya."

Begitulah, selama dua tahun pemuda Idris mengaji dan hidmah dengan ikhlas, demi memburu halal. Setelah dua tahun penuh, Idris menghadap pemilik kebun delima dan menuntut ikrar halal. Akan tetapi, orang tua itu masih belum berikrar. Bahkan memberi tambahan persyaratan. "Delima yang kamu makan saya halalkan kalau kamu mau menikahi putri saya. Tetapi sebelumnya kamu harus tahu, bahwa putri saya itu buruk rupa, lumpuh, buta, tuli dan bisu. Bagaimana?"

Tanpa pikir panjang, Idris menyanggupi. Lalu dinikahkanlah Idris dengan Fatimah-anak pemilik kebun delima-yang sampai dengan saat ijab nikah belum pernah dilihatnya . Dia meminta mas kawin aneh. Yaitu, mendidik berhias, melatih berjalan, menuntun perjalanan, membuatnya mendengar dan mengajari berbicara. "Ya saya, terima mas kawin tersebut," kabul Idris. Maka menikahlah Idris dengan Fatimah.

Usai itu, oleh mertuanya Idris dipersilakan masuk kamar pengantin. Seperti yang biasa dilakukan, begitu membuka tirai, Idris menyampaikan salam. Mendengar salam, gadis yang berada di kamar itu berdiri dan dengan lembut menjawab. Mata Idris hinggap pada wajah rupawan yang aduhai. Sejenak Idris termangu, kemudian dia berbalik menuju ruang utama menemui mertua. "Maaf Pak, Saya tidak menjumpai pengantin saya. Tidak ada perempuan yang bapak sebut. Saya hanya melihat seorang gadis muda yang bersuara merdu, bermata bagai kejora yang begitu saya uluksalami menjawab dengan lembut. Bagaimana ini?"

Sang mertua menjawab dengan senyum, "Itu memang pengantinmu. Dia buruk rupa, buktinya sampai sebesar itu belum laku. Dia lumpuh, artinya tidak pernah mau pergi ke mana-mana. Dia buta dari keindahan dunia di luar rumah. Dia tuli dari mendengar pergunjingan tetangga, dan bisu karena tidak mau sembarang berbicara. Itulah dia, Nak. Kami titipkan anakku Fatimah untuk kamu bimbing," kata Al 'Arif Billah.

Kelak, lahirlah seorang mujtahid besar bernama Mohammad bin Idris Asy-Syafi'iy yang mazhabnya dijalankan oleh hampir semua muslim di negara-negara ASEAN.

Itulah barangkali perlunya perut kita tidak sembarangan dijejali makanan yang diragukan kehalalanya. Nafsu kita memasukan makanan ke dalam perut kita-apakah hasil curian, korupsian, penipuan atau lainnya-kalau belum jelas milik sendiri, seharus- harusnya dihindari. Dengan begitu kelak akan lahir-generasi sesudah kita-generasi andalan, bukan generasi narkotika dan shabu.

* KH Cholil Bisri, Pengasuh Pesantren Roudhlotul Tholibin Rembang, Jawa Tengah.
--------------------------
------------------------
© C o p y r i g h t 1 9 9 8 Harian Kompas

Sang Kyai Pembelajar

KH Achmad Mustofa Bisri
Sang Kiyai Pembelajar


Kiyai, penyair, novelis, pelukis, budayawan dan cendekiawan muslim, ini telah memberi warna baru pada peta perjalanan kehidupan sosial dan politik para ulama. Ia kiyai yang bersahaja, bukan kiyai yang ambisius. Ia kiyai pembelajar bagi para ulama dan umat. Pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah, ini enggan (menolak) dicalonkan menjadi Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama dalam Muktamar NU ke-31 28/11-2/12-2004 di Boyolali, Jawa Tengah.

KH Achmad Mustofa Bisri, akrab dipanggil Gus Mus, ini mempunyai prinsip harus bisa mengukur diri. Setiap hendak memasuki lembaga apapun, ia selalu terlebih dahulu mengukur diri. Itulah yang dilakoninya ketika Gus Dur mencalonkannya dalam pemilihan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama pada Muktamar NU ke-31 itu.

“Saya harus bisa mengukur diri sendiri. Mungkin lebih baik saya tetap berada di luar, memberikan masukan dan kritikan dengan cara saya,” jelas alumnus Al Azhar University, Kairo (Mesir), ini, yang ketika kuliah mempunyai hobi main sepakbola dan bulutangkis. Setelah tak lagi punya waktu meneruskan hobi lamanya, ulama ini lalu menekuni hobi membaca buku sastra dan budaya, menulis dan memasak, termasuk masak makanan Arab dengan bumbu tambahan.

Lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944, dari keluarga santri. Kakeknya, Kyai Mustofa Bisri adalah seorang ulama. Demikian pula ayahnya, KH Bisri Mustofa, yang tahun 1941 mendirikan Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, adalah seorang ulama karismatik termasyur.

Ia dididik orangtuanya dengan keras apalagi jika menyangkut prinsip-prinsip agama. Namun, pendidikan dasar dan menengahnya terbilang kacau. Setamat sekolah dasar tahun 1956, ia melanjut ke sekolah tsanawiyah. Baru setahun di tsanawiyah, ia keluar, lalu masuk Pesantren Lirboyo, Kediri selama dua tahun. Kemudian pindah lagi ke Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Di Yogyakarta, ia diasuh oleh KH Ali Maksum selama hampur tiga tahun. Ia lalu kembali ke Rembang untuk mengaji langsung diasuh ayahnya.

KH Ali Maksum dan ayahnya KH Bisri Mustofa adalah guru yang paling banyak mempengaruhi perjalanan hidupnya. Kedua kiyai itu memberikan kebebasan kepada para santri untuk mengembangkan bakat seni.

Kemudian tahun 1964, dia dikirim ke Kairo, Mesir, belajar di Universitas Al-Azhar, mengambil jurusan studi keislaman dan bahasa Arab, hingga tamat tahun 1970. Ia satu angkatan dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Menikah dengan Siti Fatimah, ia dikaruniai tujuh orang anak, enam di antaranya perempuan. Anak lelaki satu-satunya adalah si bungsu Mochamad Bisri Mustofa, yang lebih memilih tinggal di Madura dan menjadi santri di sana. Kakek dari empat cucu ini sehari-hari tinggal di lingkungan pondok hanya bersama istri dan anak keenamnya Almas.

Setelah abangnya KH Cholil Bisri meninggal dunia, ia sendiri memimpin dan mengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, didampingi putra Cholil Bisri. Pondok yang terletak di Desa Leteh, Kecamatan Rembang Kota, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, 115 kilometer arah timur Kota Semarang, itu sudah berdiri sejak tahun 1941.

Keluarga Mustofa Bisri menempati sebuah rumah kuno wakaf yang tampak sederhana tapi asri, terletak di kawasan pondok. Ia biasa menerima tamu di ruang seluas 5 x 12 meter berkarpet hijau dan berisi satu set kursi tamu rotan yang usang dan sofa cokelat. Ruangan tamu ini sering pula menjadi tempat mengajar santrinya.

Pintu ruang depan rumah terbuka selama 24 jam bagi siapa saja. Para tamu yang datang ke rumah lewat tengah malam bisa langsung tidur-tiduran di karpet, tanpa harus membangunkan penghuninya. Dan bila subuh tiba, keluarga Gus Mus akan menyapa mereka dengan ramah. Sebagai rumah wakaf, Gus Mus yang rambutnya sudah memutih berprinsip, siapapun boleh tinggal di situ.


Di luar kegiatan rutin sebagai ulama, dia juga seorang budayawan, pelukis dan penulis. Dia telah menulis belasan buku fiksi dan nonfiksi. Justru melalui karya budayanyalah, Gus Mus sering kali menunjukkan sikap kritisnya terhadap “budaya” yang berkembang dalam masyarakat. Tahun 2003, misalnya, ketika goyang ngebor pedangdut Inul Daratista menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat, Gus Mus justru memamerkan lukisannya yang berjudul “Berdzikir Bersama Inul”. Begitulah cara Gus Mus mendorong “perbaikan” budaya yang berkembang saat itu.

Bakat lukis Gus Mus terasah sejak masa remaja, saat mondok di Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Ia sering keluyuran ke rumah-rumah pelukis. Salah satunya bertandang ke rumah sang maestro seni lukis Indonesia, Affandi. Ia seringkali menyaksikan langsung bagaimana Affandi melukis. Sehingga setiap kali ada waktu luang, dalam bantinnya sering muncul dorongan menggambar. “Saya ambil spidol, pena, atau cat air untuk corat-coret. Tapi kumat-kumatan, kadang-kadang, dan tidak pernah serius,” kata Gus Mus, perokok berat yang sehari-hari menghabiskan dua setengah bungkus rokok.

Gus Mus, pada akhir tahun 1998, pernah memamerkan sebanyak 99 lukisan amplop, ditambah 10 lukisan bebas dan 15 kaligrafi, digelar di Gedung Pameran Seni Rupa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Kurator seni rupa, Jim Supangkat, menyebutkan, kekuatan ekspresi Mustofa Bisri terdapat pada garis grafis. Kesannya ritmik menuju zikir membuat lukisannya beda dengan kaligrafi. “Sebagian besar kaligrafi yang ada terkesan tulisan yang diindah-indahkan,” kata Jim Supangkat, memberi apresiasi kepada Gus Mus yang pernah beberapa kali melakukan pameran lukisan.

Sedangkan dengan puisi, Gus Mus mulai mengakrabinya saat belajar di Kairo, Mesir. Ketika itu Perhimpunan Pelajar Indonesia di Mesir membikin majalah. Salah satu pengasuh majalah adalah Gus Dur. Setiap kali ada halaman kosong, Mustofa Bisri diminta mengisi dengan puisi-puisi karyanya. Karena Gus Dur juga tahu Mustofa bisa melukis, maka, ia diminta bikin lukisan juga sehingga jadilah coret-coretan, atau kartun, atau apa saja, yang penting ada gambar pengisi halaman kosong. Sejak itu, Mustofa hanya menyimpan puisi karyanya di rak buku.

Namun adalah Gus Dur pula yang ‘mengembalikan’ Gus Mus ke habitat perpuisian. Pada tahun 1987, ketika menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Gus Dur membuat acara “Malam Palestina”. Salah satu mata acara adalah pembacaan puisi karya para penyair Timur Tengah. Selain pembacaan puisi terjemahan, juga dilakukan pembacaan puisi aslinya. Mustofa, yang fasih berbahasa Arab dan Inggris, mendapat tugas membaca karya penyair Timur Tengah dalam bahasa aslinya. Sejak itulah Gus Mus mulai bergaul dengan para penyair.

Sejak Gus Mus tampil di Taman Ismail Marzuki, itu kepenyairannya mulai diperhitungkan di kancah perpuisian nasional. Undangan membaca puisi mengalir dari berbagai kota. Bahkan ia juga diundang ke Malaysia, Irak, Mesir, dan beberapa negara Arab lainnya untuk berdiskusi masalah kesenian dan membaca puisi. Berbagai negeri telah didatangi kyai yang ketika muda pernah punya keinginan aneh, yakni salaman dengan Menteri Agama dan menyampaikan salam dari orang-orang di kampungnya. Untuk maksud tersebut ia berkali-kali datang ke kantor sang menteri. Datang pertama kali, ditolak, kedua kali juga ditolak. Setelah satu bulan, ia diizinkan ketemu menteri walau hanya tiga menit.

Kyai bertubuh kurus berkacamata minus ini telah melahirkan ratusan sajak yang dihimpun dalam lima buku kumpulan puisi: Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (1988), Tadarus Antologi Puisi (1990), Pahlawan dan Tikus (1993), Rubaiyat Angin dan Rumput (1994), dan Wekwekwek (1995). Selain itu ia juga menulis prosa yang dihimpun dalam buku Nyamuk Yang Perkasa dan Awas Manusia (1990).

Tentang kepenyairan Gus Mus, ‘Presiden Penyair Indonesia’ Sutardji Calzoum Bachri menilai, gaya pengucapan puisi Mustofa tidak berbunga-bunga, sajak-sajaknya tidak berupaya bercantik-cantik dalam gaya pengucapan. Tapi lewat kewajaran dan kesederhanaan berucap atau berbahasa, yang tumbuh dari ketidakinginan untuk mengada-ada. Bahasanya langsung, gamblang, tapi tidak menjadikan puisinya tawar atau klise. “Sebagai penyair, ia bukan penjaga taman kata-kata. Ia penjaga dan pendamba kearifan,” kata Sutardji.

Kerap memberi ceramah dan tampil di mimbar seminar adalah lumrah bagi Gus Mus. Yang menarik, pernah dalam sebuah ceramah, hadirin meminta sang kiai membacakan puisi. Suasana hening. Gus Mus lalu beraksi: “Tuhan, kami sangat sibuk. Sudah.”

Sebagai cendekiawan muslim, Gus Mus mengamalkan ilmu yang didapat dengan cara menulis beberapa buku keagamaan. Ia termasuk produktif menulis buku yang berbeda dengan buku para kyai di pesantren. Tahun 1979, ia bersama KH M. Sahal Mahfudz menerjemahkan buku ensiklopedia ijmak. Ia juga menyusun buku tasawuf berjudul Proses Kebahagiaan (1981). Selain itu, ia menyusun tiga buku tentang fikih yakni Pokok-Pokok Agama (1985), Saleh Ritual, Saleh Sosial (1990), dan Pesan Islam Sehari-hari (1992).

Ia lalu menerbitkan buku tentang humor dan esai, “Doaku untuk Indonesia” dan “Ha Ha Hi Hi Anak Indonesia”. Buku yang berisi kumpulan humor sejak zaman Rasullah dan cerita-cerita lucu Indonesia. Menulis kolom di media massa sudah dimulainya sejak muda. Awalnya, hatinya “panas” jika tulisan kakaknya, Cholil Bisri, dimuat media koran lokal dan guntingan korannya ditempel di tembok. Ia pun tergerak untuk menulis. Jika dimuat, guntingan korannya ditempel menutupi guntingan tulisan sang kakak. Gus Mus juga rajin membuat catatan harian.

Seperti kebanyakan kyai lainnya, Mustofa banyak menghabiskan waktu untuk aktif berorganisasi, seperti di NU. Tahun 1970, sepulang belajar dari Mesir, ia menjadi salah satu pengurus NU Cabang Kabupaten Rembang. Kemudian, tahun 1977, ia menduduki jabatan Mustasyar, semacam Dewan Penasihat NU Wilayah Jawa Tengah. Pada Muktamar NU di Cipasung, Jawa Barat, tahun 1994, ia dipercaya menjadi Rais Syuriah PB NU.

Enggan Ketua PB NU
Kesederhanaannya telah memberi warna baru pada peta perjalanan kehidupan sosial dan politik para ulama. Ia didorong-dorong oleh Gus Dur dan kawan-kawan dari kelompok NU kultural, untuk mau mencalonkan diri sebagai calon ketua umum PB NU pada Muktamar NU ke-31 tahun 2004, di Boyolali, Jawa Tengah. Tujuannya, untuk menandingi dan menghentikan langkah maju KH Hasyim Muzadi dari kelompok NU struktural. Kawan karib Gus Dur selama belajar di Kairo, Mesir, ini dianggap salah satu ulama yang berpotensi menghentikan laju ketua umum lama. Namun Gus Mus justru bersikukuh menolak.

Alhasil, Hasyim Muzadi mantan calon wakil presiden berpasangan dengan calon presiden Megawati Soekarnoputri dari PDI Perjuangan, pada Pemilu Preisden 2004, itu terpilih kembali sebagai Ketua Dewan Tanfidziah ‘berpasangan’ dengan KH Achmad Sahal Makhfud sebagai Rois Aam Dewan Syuriah PB NU. Muktamar berhasil meninggalkan catatan tersendiri bagi KH Achmad Mustofa Bisri, yakni ia berhasil menolak keinginan kuat Gus Dur, ulama ‘kontroversial’.

Ternyata langkah seperti itu bukan kali pertama dilakukannya. Jika tidak merasa cocok berada di suatu lembaga, dia dengan elegan menarik diri. Sebagai misal, kendati pernah tercatat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah tahun 1987-1992, mewakili PPP, demikian pula pernah sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), mantan Rois Syuriah PB NU periode 1994-1999 dan 1999-2004 ini tidak pernah mau dicalonkan untuk menjabat kembali di kedua lembaga tersebut. Lalu, ketika NU ramai-ramai mendirikan partai PKB, ia tetap tak mau turun gelanggang politik apalagi terlibat aktif di dalamnya.

Demikian pula dalam Pemilu Legislatif 2004, meski namanya sudah ditetapkan sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Jawa Tengah, ia lalu memilih mengundurkan diri sebelum pemilihan itu sendiri digelar. Ia merasa dirinya bukan orang yang tepat untuk memasuki bidang pemerintahan. Ia merasa, dengan menjadi wakil rakyat, ternyata apa yang diberikannya tidak sebanding dengan yang diberikan oleh rakyat. “Selama saya menjadi anggota DPRD, sering terjadi pertikaian di dalam batin saya, karena sebagai wakil rakyat, yang menerima lebih banyak dibandingkan dengan apa yang bisa saya berikan kepada rakyat Jawa Tengah,” kata Mustofa mengenang pengalaman dan pertentangan batin yang dia alami selama menjadi politisi.

Dicalonkan menjadi ketua umum PB NU sudah seringkali dialami Gus Mus. Dalam beberapa kali mukhtamar, namanya selalu saja dicuatkan ke permukaan. Ia adalah langganan “calon ketua umum” dan bersamaan itu ia selalu pula menolak. Di Boyolali 2004 namanya digandang-gandang sebagai calon ketua umum. Bahkan dikabarkan para kyai sepuh telah meminta kesediaannya. Sampai-sampai utusan kyai sepuh menemui ibunya, Ma’rafah Cholil, agar mengizinkan anaknya dicalonkan. Sang ibu malah hanya menjawab lugas khas warga ulama NU, ”Mustofa itu tak jadi Ketua Umum PB NU saja sudah tak pernah di rumah, apalagi kalau menjadi ketua umum. Nanti saya tak pernah ketemu.”

Gus Mus sendiri yang tampak enggan dicalonkan, dengan tangkas menyebutkan, “Saya mempunyai hak prerogatif untuk menolak,” ucap pria bertutur kata lembut yang sesungguhnya berkawan karib dengan Gus Dur selama belajar di Kairo, Mesir. Saking karibnya, Gus Mus pernah meminta makan kepada Gus Dur selama berbulan-bulan sebab beasiswanya belum turun-turun. Persahabatan terus berlanjut sampai sekarang. Kalau Gus Dur melawat ke Jawa Timur dan singgah di Rembang, biasanya mampir ke rumah Gus Mus. Sebaliknya, bila dia berkunjung ke Jakarta, sebisa-bisanya bertandang ke rumah Gus Dur. Selain saling kunjung, mereka tak jarang pula berkomunikasi melalui telepon.

Gus

Gus
Reporter : Oryza A. Wirawan


Gus, saya ingat hari itu: saat Sampeyan harus meninggalkan istana dengan 'penuh luka'. Parlemen menggulingkan Sampeyan. Ditemani sanak kerabat dan kawan-kawan dekat, Sampeyan bercelana pendek menemui para pendukung. Orang-orang menangis. Bangsa ini tak pernah menghargai proses, dan tak pernah belajar menghargai apa yang sudah di tangan. Kita menginginkan lebih, dan seorang seperti Sampeyan, ketika dirasa tak cukup untuk memuaskan hasrat itu, juga dipaksa untuk minggir.

Orang bilang, Sampeyan ini gampang berubah-ubah sikap. Isuk dele, sore tempe (pagi bilang kedelai, sore bilang tempe). Orang bilang, Sampeyan tidak konsisten. Namun, terus terang saja, saya kini menjadi ragu manakah yang sebenarnya gampang mengubah sikap dan pendapat: Sampeyan atau bangsa ini.

Saya ragu, jangan-jangan bangsa ini yang sebenarnya gampang terkena amnesia sejarah, dan Sampeyan hanyalah satu dari sedikit parrhesias: orang yang berani mengungkapkan apapun dalam pikirannya dan tak menyembunyikan apapun kecuali kebenaran dan keinginan untuk mengingatkan. Keterbukaan dalam ucapan memang kadang menyakitkan, terutama di tengah masyarakat yang sekian lama hidup dalam ketakterusterangan dan pasemon.

Saat Sampeyan menunjukkan keberpihakan kepada kaum minoritas, sampeyan dituduh tidak membela kaum sendiri dan menjadi corong kaum minoritas. Keberpihakan sampeyan, Gus, selalu dibenamkan dalam asap teori konspirasi yang bikin bingung. Kita seperti lupa, bahwa hari ini kita bisa tetap menjadi Indonesia karena adanya penghormatan terhadap liyan, sesuatu yang dipandang minor. Sampeyan cuma mengingatkan kembali, namun rupanya bangsa ini sulit untuk diingatkan tentang sesuatu yang benar.

Ketika Sampeyan mengusulkan pencabutan TAP MPRS Nomor 25 tahun 1966 tetang larangan penyebaran komunisme-leninisme-marxis
me, orang ramai-ramai berteriak lantang. Sampeyan dianggap sudah keterlaluan, karena membangunkan 'hantu lama' Karl Marx. Orang agaknya lupa, komunisme sudah lama bangkrut, dan kelaparan maupun kemiskinan sudah tak ada urusan lagi dengan ideologi. Bangsa ini mungkin lupa pula, bahwa kita butuh rekonsiliasi, dan tak menumpuk kesumat hingga tulang sumsum.

Sampeyan adalah orang yang percaya, bangsa ini harus didewasakan dengan jalan menerima perbedaan pendapat apapun, termasuk soal ideologi. Namun Sampeyan juga orang percaya bahwa Pancasila adalah asas yang tepat untuk mengikat bangsa ini, bukan yang lain. Sampeyan memperkenalkan 'pribumisasi Islam', sesuatu yang dihujat pula oleh orang-orang yang merasa jalan ber-Islam adalah jalan tunggal. Orang-orang itu, Gus, menolak pernyataan seorang parrhesias seperti Sampeyan yang mengingatkan: seorang muslim berhak hidup dengan banyak predikat, termasuk hak untuk menjadi Jawa dan bukan Arab, menjadi Batak dan bukan Arab, menjadi Madura dan bukan Arab, menjadi Indonesia dan bukan Arab.

Di saat orang mulai pesimis dengan pemerintahan Suharto dulu, sampeyan justru mendekat dan bersalaman. Orang mencibir, dan lagi-lagi lupa, bahwa Sampeyan memang harus mendekat kepada pemerintah karena 'seribu hari hidup dengan pemimpin yang lalim masih jauh lebih baik daripada hidup sehari di sebuah negara tanpa pemimpin'.

Gus, saya gembira, setelah Habibie, Sampeyan menjadi orang yang mendesakralisasi istana dan jabatan presiden. Menjadi presiden seolah bukanlah apa-apa, dan tak ubahnya ketika seseorang menjadi petani, pedagang pracangan, atau pengamen di tepi jalan. Sampeyan memang perlu pengamanan protokoler, tapi Sampeyan tak pernah merengek-rengek tentang kemungkinan Sampeyan dibunuh, oleh kelompok Muslim garis keras yang menuduh Sampeyan bersekongkol dengan Israel. Sampeyan jalani hidup sebagai Presiden tanpa harus was-was bakal kena bom sewaktu-waktu, atau jadi target tukang bedil jitu.

Namun, Orang lantas marah-marah, saat Sampeyan mengatakan kebenaran bahwa DPR tak ubahnya taman kanak-kanak. Orang bilang Sampeyan adalah presiden yang tak mengeri etika. Orang seperti lupa, bahwa hanya anak-anak yang berebut sesuatu tanpa etika dan aturan. Menurunnya angka partisipasi pemilih yang antre di bilik-bilik suara saat pemilu menunjukkan bahwa orang pun kini tak percaya dengan 'taman kanak-kanak' itu.

Sampeyan memang akhirnya digulingkan, dipinggirkan. Nasib sampeyan persis seperti nasib Plato yang mengingatkan Dionysius. Seperti kata Michel Foucault, seorang parrhesias mengambil risiko untuk dihukum, diasingkan, dan dibunuh, karena keberaniannya mengatakan sesuatu yang benar.

Gus, hari ini sampeyan mewariskan Partai Kebangkitan Bangsa dan menitipkan Nadhlatul Ulama kepada bangsa ini. Orang mulai pesimis tentang masa depan PKB, dan siapa yang bakal menjadi orang seperti Sampeyan di NU. Tapi bagi saya, bukan itu yang terpenting. Saya, sebagaimana mungkin banyak orang, hari ini berharap: pemikiran Sampeyan tentang pluralisme, kebangsaan, dan demokrasi, tak akan tertelan hasrat Machiavellian yang menjadikan kedua organisasi itu sebagai 'pasar sapi'.

Terakhir, saya tengadahkan tangan ke langit dan berharap Tuhan akan memandikanmu dengan air salju dan embun pagi. Membersihkanmu dari segala kesalahan, sebagaimana Tuhan membersihkan baju yang putih dari kotoran. semoga Tuhan menjaga tidur panjangmu, Gus. [wir]

di kutip dari beritajatim.com