Mengenai Saya

Foto saya
Jakarta, DKI, Indonesia
Abdullah Hariri (Hamba Allah yang lembut) demikian bapakku berharap seperti apa aku. Kakekku yang bijakpun tak lupa menyertakan harapannya terhadapku dengan menghadiahkan sebuah nama Moenir (yang bersinar terang). Lahir dan besar di tanah pemberani, dibesarkan oleh seorang penjual minyak tanah yang bijak,menjadi piatu sejak usia 2 tahun, namun tak pernah lepas dari kasih sayang orang tua...

12 Desember 2010

Adzan yang terhenti...

Di negeri kita yang mayoritas muslim, apalagi di tempat asal saya yang banyak terdapat langgar (surau) dan masjid dimana-mana, setiap masuk waktu shalat lima waktu suara adzan adalah suara yang lazim kita dengarkan. Mulai dari adzan subuh, dzuhur, ashar, maghrib, hingga isya saling bersahut-sahutan dari satu surau, masjid ke surau dan masjid yang lain. Suara sang muadzin pun beragam, mulai dari suara yang merdu seperti layaknya suara Qori' internasional, hingga suarau parau seorang kakek-kakek, bahkan tak jarang pula kita dengar suara lugu bocah santri TPQ surau/masjid setempat.

Suatu ketika, beberapa tahun yang lalu (saya lupa persisnya), saat itu saya terbangun oleh suara adzan subuh yang berasal dari masjid di kampung belakang rumah almarhum orang tua saya (Semoga Allah mengampuni dosa-dosa beliau). Di pagi buta, saat sebagian besar kendaraan masih terlelap di tempat parkirnya masing-masing, saat kebanyakan televisi dan radio belum di hidupkan, saat sebagian orang masih berlindung di balik selimutnya, suara adzan akan terdengar lebih nyaring di banding saat waktu sholat yang lain. Satu hal yang menjadi tanda tanya saya pada saat itu adalah ketika suara adzan tersebut tiba-tiba berhenti di tengah kumandangnya, saya sendiri yang masih setengah sadar hanya menyimpan pertanyaan dalam hati sambil ngeloyor ke kamar mandi untuk menunaikan panggilan tersebut.

Pertanyaan dalam hati tersebut baru terjawab pagi harinya, saat para tetangga dan warga sekitar yang sebagian memiliki rutinitas membeli minyak tanah di rumah saya membicarakan tentang muadzin masjid belakang yang meninggal saat beradzan. Sontak saya teringat apa yang pernah disampaikan orang tua saya, bahwa seseorang bisa meninggal sesuai dengan apa yang diinginkannya. Artinya, jika seseorang ingin meninggal di dalam masjid, maka jadilah ahli masjid, seperti jamak yang kita lihat pula, bahwa seorang ahlul khamr seringkali meninggal dalam keadaan mabuk. Demikian pula, seseorang yang ingin meninggal dengan tidak menyusahkan orang lain, maka biasakanlah untuk memudahkan orang lain. Jika ingin meninggal dalam keadaan berdzikir, mengingat Allah, maka Ingatlah Allah dimana saja kita berada. Subhanallah, pelajaran yang berharga bagi kita semua. Semoga kitapun di beri akhir yang seindah mungkin...